Sebuah Ilmu Bernama,SADAR DIRI
Dulu awal ngaji, semua kajian sunnah di datangi. Tidak peduli hujan, panas, lapar, pagi, siang, sore, malam, yang penting datang, terus mencatat walau tidak paham.
Sekarang banyak kajian sunnah tersebar, justru malas datang, boro-boro nyatat lengkap, di sana isinya ketiduran, kalau tidak, malah asik ngobrol saat kajian atau bahkan main hp tidak karuan.
Dulu awal ngaji, berangkat paling awal, mempersiapkan diri sebaik mungkin, buku dan alat tulis disiapkan rapi.
Sekarang datang selalu telat, dengan alasan yg sebenarnya bisa ditiadakan. Boro-boro nyiapin buku dan alat tulis rapi, kitab saja kadang lupa tidak dibawa, alat tulis modal pinjam teman sebelah kanan atau kiri.
Dulu nemu poster kajian langsung berangkat, tidak peduli ada kitab gratis atau tidak, ada snack gratis atau tidak. Karna diri merasa terlambat kenal ngaji sunnah, jadi berusaha keras ngumpulin ilmu.
Sekarang pas sudah ngaji, kalau ada poster kajian nanya dulu :
'ada kitab gratis ga?'
'ada snack/gorengan ga?'
'dapat buka puasa ga?' dll.
Kalo ga dapat hatinya jadi cupet.
Dulu pas tau ternyata di kajian sunnah sering bagi kitab gratis dan snack bahkan makanan, bersyukur banget kalau kebagian.
Sekarang, ketika cuma dapat gorengan "saja", hatinya sumpek, bahkan sampe berani usul ke takmir masjid buat juga disediakan teh anget atau es teh.
(ini real terjadi, "lha iki niat ngaji ta cangkruk-an?" *kalo kata anak Jawa Timur-an)
Dulu pas jaman iktikaf ramadhan bayar, biasa-biasa saja tidak mengeluh.
Sekarang pas iktikaf ramadhan pada gratis mintanya dilayani ekstra, makan, minum, tidur, baju kotor dll pinginnya gratis. Dikasih makan yg sekiranya nda cocok langsung dibuang di tempat sampah padahal masih utuh nasi box nya.
(realita yang pernah saya temui, so sad)
Dulu ada mahad mau semahal apa dijabanin.
Sekarang banyak mahad gratis eh bolos terus karna ngerasa ga rugi, karna ga keluar materi.
Astagfirullah, ada apa dengan kita kawan???
Kenapa makin ngaji makin banyak menemui fenomena seperti ini???
Heran.
Pernahkan kita merasa cupet hatinya, sempit dadanya kalo ndak kebagian kitab gratis? Snack/makan gratis?
Ada apa sebenarnya?
Bukankah niat kita ngaji itu menghilangkan kebodohan diri? Mencari bekal akhirat? Mengharap wajah Allah?
Benarlah perkataan salafush sholih yg mengatakan : Kadang manusia cuma butuh sedikit adab daripada buanyak ilmu.
Coba lihat kisah para salaf dalam menuntut ilmu:
Semangat dalam keterbatasan
Imam Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar, kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam botol yang sudah tua”[1]
Walau harus menempuh perjalanan jauh
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut[2]
Belajar butuh modal, bukan hanya gratisan
Khalaf bin Hisyam Al Asadi berkata, “saya mendapatkan kesulitan dalam salah satu bab di kitab Nahwu. Maka saya mengeluarkan 80.000 dirham (sekitar 300 juta rupiah) hingga saya bisa menguasainya”[3]
Sadar diri.
Dulu kita seperti apa?
Kalau tidak ditolong Allah, bisa jadi kita masih di jurang kesesatan aqidah, kebidh'ahan, kejahilan fiqih dalam ibadah dll.
Sadar diri, niatnya apa?
Sadar diri, kita siapa kok minta semua disiapkan, mintanya gratisan?
Sadar diri.
Sadar diri.
Dulu kita seperti apa?
Kalau tidak ditolong Allah, bisa jadi kita masih di jurang kesesatan aqidah, kebidh'ahan, kejahilan fiqih dalam ibadah dll.
Sadar diri, niatnya apa?
Sadar diri, kita siapa kok minta semua disiapkan, mintanya gratisan?
Sadar diri.
اللَّهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِيْ فَأَحْسِنْ خُلُقِيْ
“Ya Allah sebagaimana Engkau telah menciptakanku dengan baik maka perbaiki pula akhlakku.”[4]
Muraji' : Ustadzah Ummu Faathimah hafizhahallah
Referensi :
Buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil ‘ilmi asy syar’i”
karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah, penerbit Elba Surabaya.
Catatan kaki :
[1] Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98
[1] Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/98
[2] Tadzkiratul Huffadz, 2/630
[3] Ma’rifatul Qurra’ Al Kibar, Adz Dzahabi, 1/209
[4] HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani dalam al-Irwa’, 1/115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar