USHUL FIQIH PERTEMUAN 6
Hal 48
Pertanyaan : Apakah boleh beramal dengan prasangka dalam memahami
syariat, masalah-masalah dalam syariat dan dalil-dalilnya?
a. Pendapat pertama
: mayoritas ulama
mengatakan “iya”, prasangka kuat dapat dijadikan tolak ukur, karena syariat
membangun diatas prasangka sejumlah hukum.
b. Pendapat kedua : dzon ada dua
macam,
1. dzon
yg berkaitan dengan takhqiqul manath, maka ini diamalkan. contoh : prasangka
qodhi, bahwa saksi itu jujur dalam persaksian. ini sekadar sangkaan kuat qodhi,
bukan yakinnya qodhi. karena qodhi tidak punya kemampuan untuk mendapatkan
yakin dan qodhi dalam proses tahqiq manath. pada gilirnnya tidak mengapa
qodhi beramal dengan prasangka ini, dengan sepakat ulama.
Contoh : Saat ada 2 saksi pencurian, qodhi memutuskan hukum had potong
tangan, ini berdasarkan dzon bukan yakin. dan ini dzon dalam tahqiqul manath.
Definisi dikatakan pencuri jika ada 2 saksi oleh qodhi itu namaya kegiatan
tahqiqul manath.
2. beramal
dengan dzon dalam hal yang berkenaan dengan dalil. contoh : ijma’
dzoni dan qiyas, pendapat sahabat menutup jalan keburukan dll, maka ini adalah
dzon yang dapat terjadi pada dalil, maka ini tidak boleh diamalkan. hal ini
diselisihi jumhur ulama. beramal dengan prasangka itu dalam banyak
masalah/kasus. ada istilah ijma’ dzonni, yaitu ijma’ yang disimpulkan
berdasarkan pendapat-pendapat yang ada, setelah dikaji tidak ada perbedaan
pendapat.
Hal 49
Matan : Syakk adalah bolehnya dua hal yang tidak ada kelebihan
bagi yang satu dibanding yang lain.
artinya syakk adalah kebimbangan diantara 2 hal tanpa ada yang
menguatkan salah satunya. Saat datang padamu di suatu pintu, dimungkinkan itu
Zaid, dimungkinkan itu Amr, dan tidak kuat salah satu dari 2 kemungkinan, itu
disebut syakk. Karena kalau salah satu punya kelebihan dari yang lain, akan
berubah dari syak menjadi idrok.
Pertanyaan : Apakah syakk itu terjadi pada syariat dan digunakan sebagai
sarana ibadah ?
Jadi sarana ibadah dan terdapat dalam syariat
perintah terdapat perintah beramal dengannya.
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. QS :
Al-Maidah 98
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah
menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu
tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” QS : Hadiid 17.
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ
أَبْصَارَهُمْ ۖ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ
قَامُوا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan
mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar
itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki,
niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah
berkuasa atas segala sesuatu.” QS : Al-Baqoroh 20
Demikian juga prasangka, terdapat perintah
untuk beribadah, dzon juga demikian, ada perintah beribadah dengannya. Oleh
karena itu kita menjatuhkan hukuman dengan 2 orang saksi pembunuhan. Ada
kemungkinan 2 saksi ini bohong, namun masih ada sangkaan bahwa 2 saksi ini
jujur. Dzohiriyah mengatkan bahwa dzon tidak ada dalam dalil syariat, dzon
hanya ada di taahqiqul manath, maka kita bermal dengan persaksian saksi, bukan
karena persaksisan saksi tersebut dalil syariat. tapi karena dalil yang tegas
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu” qs : At-Talaq
2.
Namun jumhur ulama mengatakan dzon itu
biasanya pada pokok dalil, kadang pada manath hukum. Oleh karena itu mereka
beramal dengan qiyas dan qiyas dalam banyak kasusnya adalah dzonni, meski kita
akui sebagian jenis qiyas adalah qothi. Demikian juga mereka bermal dengan
pendapat sahabat, wasaddu dhor’i. Mereka
bantah dhohiriyah dengan mengatakan kalian
beramal dengan dalil istishaq (mempertahankan keadaan lama, meski dia qothi di
jaman pertama, meski ada di zaman kedua de gan dzonni. Jika konsekuen, maka
harus meyakini ada dzon dalam memahami dalil syariat.
Adapun Syakk, bisa jadi manath untuk sebagian
kasus, hukum dikaitkan dengannya. Contoh ragu sholat sudah 3 atau 4 rakaat.
maka dia katakan dengan yakin, belum sholat kecuali 2 rakaat. maka hukum disini
dibangun pada asalnya diatas syakk. Sabda Nabi, shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ
الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُسَلِّمْ ثُمَّ لْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ
“Jika kalian ragu dengan jumlah rakaat ketika shalat, pilih yang
paling meyakinkan, dan selesaikan shalatnya, sampai salam. Kemudian lakukan
sujud sahwi dua kali.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka hendaklah dia buang syakk Maka hukum dikaitkan dengan syakk,
dzatnya sendiri memang ada.
Contoh lain : seseorang mengakui sesuatu tapi
ragu dengan nominal yang diakui. Apakah itu yang ada dibawah tangannya atau
yang bukan. Maka ini memiliki sejumlah hukum syari yang dikenal. ulama fiqih
punya rincian. Namun tidak mungkin syakk itu punya madhkhol pintu masuk
dalam dalil syariat. Maka dalil yang tidak valid dan tidak mewujudkan kecuali
kami tidak menolehnya.
Hal 51
Pertanyaan : apakah syakk itu hukum atau bukan hukum? dan tempat
perselisilah diantara ulama ushul fiqih.
Maka yang benar, syakk adalah idrok, pemahaman, tidak mengandung
hukum karena dia paham 2 hal yang mirip, yang satu terjadi, yang satu berbeda
dengan kenyataan. Maka tidak ada hukum, hanya ada kebimbangan diantara 2
kemungkinan. Sebagian ulama ushul fiqih mengatkan itu hukum, karena meniadakan
dari selain orang yang diragukan. Tatkala ada yang datang dari pintu dan tidak
tau itu Zaid atau Umar, maka saat itu anda meniadakan kalau ada orang yang ke 3
semisal kholid, sa’id, dan ditutup
dengan yang selainy. Maka diangkat hukum ini dari mafhum yang bisa diankat.
Hal 52
Pengertian Ushul Fiqih
Ushul fiqih adalah dalil-dalil fiqih secara
global dan cara berdalil dengannya. Qorinah, Maka cara berdalil dalah urutan
berdalil dalam urutan mana yang didahulukan mana yang dibelakangkan dan yang
mengikuti hal tersebut ketentuan untuk ulama mujtahid.
Penjelasan : Fiqih secara global dan jalan adalah yang
mengantarkan pada fiqih. dan jalan ini adalah dalil syari, secara global ini
adalah antisipasi dari dalil tafsili (spesifik). dalil spesifik sholat 5 waktu,
puasa ramadhan, itu bukan ushul untuk fiqih. Bagian pertama dari berbagai ilmu
ushul fiqih yaitu,
1. al-adillah : pembahasan
tentang quran, sunnah dan ijma’ biasa disebut ulama turuqu fiqhi secara global.
termasuk dalam masalah ini adalah dalalatul alfad kandungan teks, umum, khusus,
dll maka ini turunan fiqih secara global. Boleh juga diletakkan pada macam yang
ke-2.
2. cara berdalil : mencangkup
umum, khusus, mutlaq, mukoyyat, amr, nahi dll
Pertanyaan : bagaimana cara membedakan antara dalil ijmal dan
spesifik?
Jawab :
Dalil ijmal adalah dalil kulli, global, yang tepat untuk
diberlakukan untuk diperlakukan pada dalil parsial atau spesifik yang banyak.
Contoh : Al-Quran dalil hadits dan ijma, amr yufidul wujub, Adapun dalil
tafsili, mencangkup 1 kasus saja. Misal tegakkan sholat, ini hujjah dan dalil
spesifik tentang wajibnya sholat 5 waktu. hanya dalam 1 kasus parsial.
Turuqul fiqhi itu mencangkup 2 hal:
1. Al-adillah :
quran, sunnah ijma
2. dalalatul alfad :
semisal amr maknanya wajib, nahi maknanya haram dll.
Cara berdalil dengan dalil-dalil diatas untuk mendalili suatu
hukum, nama lainya yaitu qowaidul istimbat. Bersifat umum atau khusus. atau
multaq pada segala sesuatu yang tepat. Sebagaimana dalil itu tidak dalam 1
level yang sama. Mafhum muwafaqoh lebih kuat dari mafhum mukholafah. contoh
mafhum muwafakhoh : jangan ucapakan uff pada bapak ibumu. makananya tidak boleh
mukul, nempeleng dll. Qiyas qothi lebih kuat dari qiyas dzonny. ini yang
dimaksud dengan urutan dalil.
Isi yang ke 3 dari ushul fiqih yaitu ketentuan untuk ulama
mujtahid. Terdapat masalah sebagai berikut : apa itu syarat mujtahid, jenis
mujtahid, siapa yang boleh atau tidak boleh ijtihad, apakah srtiap mujtahid itu
benar, atau ada yang benar dan ada yang salah.
Hal 53
Apakah ilmu ushul fiqih terbatas untuk ilmu fiqih saja?
Jika ditelusuri buku karya ulama ushul fiqih,
akan kita jumpai saat mereka menulis buku, mereka mendefinisikan ilmu ushul
fiqih, Mafirah dari sudut pandang
rambu-rambu, akan tetapi yang benar adalah ushul itu bisa diterapkan pada semua
ilmu syariat, fiqih adalah semua hukum syariat. maka jelaslah yang dimaksud
ushul fiqih adalah pondasi semua hukum syariat. bukanlah ilmu ushul fiqih yang
berkenaan dengan hukum amali saja, karena kaidah ushul bisa diterapkan pada
syariat, dimunculkan darinya hukum dan ilmu fiqih, dan hukum dalam berbagai
macam kaidah, dan berbagai hukum dalam bidang tafsir. dan ebrbagai hukum di
bidang hadits dll. Diantara contoh : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا آمِنُوا QS An-Nisaa 136 “wahai
orang-orang beriman, berimanlah kalian” ada
fiil amr, diterapkan pada masalah yang berkenaan dengan keyakinan. demikian
juga kaidah apakah yang jadi tolak ukur itu umum atau khusus. diterapkan
sejumlah hukum dan ilmu tafsir, ilmu hadits, apakah celaan (jarh) itu lebih
didahulukan daripada pujian (ta’dhil) atau sebaliknya, ini adalah bagian dari
ilmu ushul fiqih. ini tidak dibangun diatas masalah-masalah hadits.
Kesimpulan : ilmu ushul fiqih tidak terbatas
pada masalah fiqih saja, bisa diterapkan
pada semua ilmu syariat. dan sebgain peneliti menyebutkan, sebab dibatasinya
ushul fiqih, bahwasahanya mereka berpandagan tidak boleh diambil dari dalil
syari, namun hanya diambil dari dalil aqli. dan karena kami harus membangun
aqidah, kemudian terbangun diatas akidah tersebut kita mengenal dalil. ini
keliru, karena konsekuensi dalil aqidah dalam quran dan sunnah tidak ada
timbangannya, sekan-akan Allah telah mengajak kita bicara tanpa ada buahnya,
dan ini hal yang sia-sia. Dan Allah tersucikan dari main-main.
Ringkasnya : ilmu ushul fiqih, fiqih disitu bukan hanya dalam arti
hukum amali, tapi semua perkara, itu semua perkara butuh ilmu ushul fiqih. baik
ilmu hadits, ilmu tafsir, aqidah dll semua butuh ushul fiqih
Hal 55
Bab-bab Ushul Fiqih
Gambaran global apa yang akan dibahas di matan
al waraqot. Diantara bab ushul fiqih adalah, pembahasan kalam, amr, nahi, amm,
khoss, mujmal, mubayyan, dzohir, muawwal, af’al (perbuatan nabi), nasihk,
mansukh, ijma, hadits, qiyas, larangan atau mubab, urutan dalil, tatacara orang
yang berdalil, kriteria mufti, orang yang bertanya dan hukum untuk sejumlah
ulama, dan ketentuan untuk mujtahid.
Ini seperti muqoddimah yang diletakkan seperti
daftar isi yang memuat isi buku. karena perkata menjelaskan pada anda bahwa
ushul fiqih terbagi menjadi banyak bab. dan bab-bab ini akan dijadikan penulis
unuk setiap bab 1 bagian dan rincian tersendiri, pada saat itu, maka jadilah
urutan kitab. Urutan kitab sesuai dengan globab yang telah disebutkan disini.
Hal 56
Macam-macam kalam : kalam terbagi menjadi jumlah ismiyah,
jumlah fi’liyah dan terbagi dari sisi hakiki dan majaz,dll.
Amr : perintah dalam bentuk kata-kata, semisal : dengarkan pelajaran.
maknanya : inilah tuntutan agar tidak berbuat dan tersibukkan dan tidak
mengikuti pelajaran.
Amm : yang mencangkup seluruh anggotanya. contoh : seluruh tholib di
masjid ini mengikuti kebaikan
Khoss : kata yang mencagkup sejumlah person tertentu. contoh : kami,
sebagian penuntut ilmu berijtihad tapi membatasi diri dengan kertas, pena dan
buku catatan dan memberi catatan tambahan pada buku mereka.
Mujmal: dalil yang tidak boleh diamalkan secara dzatnya secara murni.
sebagaimana firman Allah taala (berikan kewajibannya pada hari penanamanya)
yang dimaksud hak nya adalah suatu yang global. kitak tidak akan
berkomentar sampai ada dalil yang menjelaskannya.
mubayyan : orang yang memperjelas yang globab
Dhohir : kata yang menunjukan 2 makna yang salah satu lebih menonjol dari
yang lain.
Muawwal : yang dibelokkan dari makna dzohirnya dari makna yang dekat menuju
makna yang rojih yaitu makna yang jauh.
Af’al : apakah perbuatan nabi dan sahabat teranggap hujjah atau tidak.
nasikh : teks yang menghilangkan hukum teks sebelumnya
Mansukh : teks yang dihilangkan hukumnya atau bacaanya dihilangkan.
ijma : kesepakatan umat Muhammad shallallahu alaihi waasallam pada suatu hukum
tertentu.
akhbar : carita atau hadits dari Nabi atau para sahabat baik yang bersifat
mutawatir ataupun ahad.
Qiyas : menggabungkan cabang dengan cabang yang baru dengan permasalahan
yang terdapat dalam nash.
alhatu wal ibahah : apakah hukum asal segala seuatu sebelum
datang syariat itu mubah atau haram. Ada 2 pendapat.
tartibul adillah : dalil mana yang ahrus di depan atau
dibelakang.
diskripsi orang yang boleh memberikan fatwa dan tidak boleh.
mustafti : penuntut ilmu yang mencari fatwa
mujtahidin : siapa yang boleh berijtihad, dan apa hakikatnya.
BAB 1 Hal 56
MACAM-MACAM KALAM
bagian-bagiannya bervariasi, dan berbilang, yakni bisa terbagi
pada dzatnya.
Apa itu kalam? suara dan huruf berupa ucapan dalam masalah tersebut, dan bukan
termasuk kalam adalah kata hati yang tersimpan dalam jiwa, harus berfaidah,
mengetahui maksud penutur cukup dengan mendengarkan. Kalau tidak diucapkan
bukanlah kalam.
Terdapat dalil baik dari quran, sunnah
maupun perkataan orang arab. Jika orang menyembunyikan suatu pesan dan tidak
berbicaramaka dia tidaklah berbicara.
Firman Allah
kepada Maryam
فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ
لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
"Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari
ini". QS. Maryam 26
Maka setelah bernadzar, Maryam datang dengan anaknya kepada
kaumnya, dan dia berisyarat saja tanpa berkata. Akan tetapi Maryam telah
melanggar sumpahnya, dikarenakan dia telah meletakkan makna-makna tersebut.
Sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما
لم تعمل أو تتكلم
“Sungguh Allah memaafkan bisikan hati dalam
diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapkan“
Maka dibedakan kata hati dan kalam. Dalilnya QS at-taubah 6
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ “
Dan jika seorang diantara orang-orang
musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia
sempat mendengar firman Allah”
Tidak disebut
kalam kecuali diucapkan atau dengan syarat semisal “aku katakana di dalam
hati..” dalam rangka majaz.
Tidak sah mengatakan “aku telah berbicara”
*Ini panjang
lebar membantah asyariyah yang mengatakan bahwa kalam Allah adalah kata batin,
ahlu sunnah. Firman Allah ada 2,ada kalam nafsi dan kalam lafzdi.
Hal 58
Matan : minimal unsur
pembentuk kalam adalah 2isim, atau isim dan fiil, atau isim dan huruf atau
huruf dan fiil.
Pembagian yang dilakukan oleh pakarnya
jauh lebih baik (penulis merupakan pakar nahwu).
Juwaini
dikenal asyari, tapi di kitabnya beliau menyelisihi asyari. Beliau mengatakan
minimal penyusun kalam adalah 2 isim. Asyairoh kalam adalah pesan kejiwaan,
menjadikan pesan dan huruf sebagai kalam. Isim setelah fiil termasuk suara dan
huruf.
Sehingga
diragukan apakah al waraqot tulisan al juaini atau bukan. Salah satu alas an
yang mendebat karena aljuwaini dikenal asyari tapi di syarah beliau tidak ada
corak asyari. Bisa juga isim dan fiil , atau isim dan huruf yaitu minimal
pembentuk kalam. Disebut sibhul jumlah. Tidak disebut jumlah yang sempurna
kecuali adanya sibhul jumlah. Contoh fil bait. Itu tidak disebut kalam karena
tidak bias dipahami makna dzat sampai ditambah yang lain, tapi bias diangaap
kalam jika disandarkan pada yang lain.
Dan diantara
maknanya, ‘penanya’ takdirnya ‘ini
penanya’. Disisi yang lain, hak pada fii
kolamihi bukanlah huruf tapi isi, karna bagian dhomir dan dhomir itu isim bukan
huruf. Atau minimal huruf dan fiil, contoh dhorobahu. Fail dhoroba tidak
disebut, takdirnya fulan. Kesimpulan, sebagian hal disebut kalam atau huruf,
sedangkan pakar nahwu tidak disebut huruf, karena ini huruf. Tidak perlu
diperselisihkan.
Ustadz membuka sesi tanya jawab.
maasyaAllah…
Hal 36 dalam kitab
1. Naqidul haram wajib
dan naqidul wajib haram?
Beda naqid dan dhid. Naqid saling
menggantikan, hidup-mati, diam-gerak,
Maka haram sama qajib itu naqid. Karena
meninggalkan yang haram itu wajib, meniggalkan yang wajib itu haram.
Dhid, berkebalikan nemun tidak harus
saling menggantikan, hitam-putih.
Wajib dan mandhub itu bukan naqid, tapi
dhid.
Kalimat pertama
mengatakan haram-wajib itu naqid di satu sisi itu betul karena saling
menggantikan. Missal meninggalkan zina itu wajib, meniggalkan wajib itu haram.
Tapi disisi lain bias jadi 2 hal yang berbeda. Missal haram itu zina, wajib itu
sholat 5 waktu. Minggalkan zina itu wajib. Sedangkan sholat 5 waktu itu wajib, meninggalkannya haram.
Saling menggantikan.
Tapi jika di contohkan, meninggalkan zina
tidak selalu melakukan yang wajib, missal tidak zina karena sibuk ngaji, sibuk
ngehafal, sibuk kerja, sibuk olahraga dll. Tidak zina itu wajib, namun hal-hal yang dilakukan untuk tidka zina itu tidak semua memiliki
hokum wajib. Missal sibuk belajar ushul fiqih itu sunnah, sibuk kerja hukumnya
mubah. Dll.
2. Pertanyaan si akhwat imut wwkw :
Minta dijelaskan
tentang ilmu dhoruri, dan ilmu dhoruri bukan hasil manusia.
Jawab :Ilmu dhoruri tidak perlu renungan,
berfikir, cari dalil dll. Ilmu dhoruri ada 2:
1. hasil indra
2. berita mutawatir
Kebalikan ilmu dhoruri itu ilmu nadzori,
tapi di matan dipakai muktasab. Nah istilah muktasab ini bias jadi akrena
terpengarauh aqidah asyariah karena konsep kasab. Jadi lebih baik itu pakai
ilmu nadzori saja bukan ilmu muktasab. Kalua nadzori itu disebut kasab,
dianggap ilmu dhoruri bukan usaha manusia.
Bolehkan kita katakana ilmu dhoruri itu
bukan hasil usaha manusia. Jawabanyya ada 2.
(hal 43)
1. boleh, ilmu dhoruri bisa haq
Ilmu dhoruri bukan usaha manusia jika
maknanya kandungan ilmu itu tanpa usaha,
1+1=2. Tanpa mikir. Api itu panas. Jika ilmu dhoruri dengan pengertian ini maka
boleh, benar
2. tidak boleh, ilmu dhoruri bisa bathil
Kalua diaktakan ilmu dhoruri bukan usaha
manusia tidak boleh saat sudah ada sebelum Allah ciptakan kita, sejak dulu kita
sudah tau. Maka ini tidak betul. Jika kita tau sejak pertama kali tanpa pakai
dalil, karena ilmu dhorui pun awalnya juga pakai dalil. Contoh es itu dingin
diawalai karena tangan pernah menyentuh, setelah itu terpatri di otak bahwa es
itu dingin. Beda kalua kita sejak bayi
sudah tau esitu dingin, itu tidak benar.
Nah kalau kita bilang ilmu kasab/nadzori itu usaha manusia bisa
jadi ilmu dhoruri itu bukan usaha manusia nah ini yang salah.
3. Pertanyaan : Apa beda
sebab, illah, dan syarat?
Jawab : hal 31
Contoh, syarat sah sholat : wudhu, sebab
adanya kewajiban sholat dhuhur : matahari geser ke barat.
Contoh : sebab adanya kewajiban zakat :
sampainya nishob, syarat wajib bayar zakat : sudah genap 1 tahun.
Illah nya ema situ kena wajib zakat karena
ia harta potensial untuk berkembang.
Note :
Masih banyak kesalahan penulisan dan isi. Mohon merujuk pada kitab
asli dan rekaman aslinya.
Semua rekaman kajian Mahad Ilmi bisa diakses di :
Link PDF free download, share dan cetak
Jika ingin menambahkan atau mengoreksi silahkan tulis
di kolom komentar atau bisa kirim di
email.
Jazaakumullahu khayraan wa barakallahu fiikum.
Semoga bermanfaat
Pogung, Jogja tercinta
Ummu Ukasyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar