Bahagia dengan Ilmu 




Bisa langsung download pdf nya disini







 Banyak sekali presepsi orang dalam memaknai kata bahagia. Ada yang mengatakan bahagia itu sederhana, sesederhana mencuci pakaian kemudian menemukan uang saat akhir bulan. Ada juga yang mengatakan bahwa bahagia itu ketika punya uang banyak. Padahal kita tahu, banyak miliarder yang meninggal dunia dengan cara bunuh diri.
Salah seorang miliarder Jerman, dengan kekayaan miliar dollar Amerika tidak membuat dia bahagia, sehingga dia memilih menabrakkan dirinya sendiri ke kereta yang melaju kencang. Ada pula yang mengatakan bahagia itu ketika dia populer dan terkenal, padahal kita tau banyak artis-artis Korea meninggal bunuh diri. Mereka-mereka ini adalah potret dan bukti bahwa standar bahagia itu bukan seberapa kaya, dan tenar seseorang. Mereka tidak bisa menterapi dirinya sendiri. Bahkan ada tokoh psikolog, yang menjadi kiblat para psikolog dunia, Sigmund Freud, ia meninggal juga dengan bunuh diri. Oleh sebab itu kita harus meluruskan, kita bahagia karena apa?
Dan ternyata para ulama sudah mencontohkan dan mengajarkan pada kita, bahwa bahagianya seseorang itu karena ilmu agama.

Ibnu Taimiyyah rahimahullahu  mengatakan,
ما يصنع أعدائي بي؟ أنا جنتي وبستاني في صدري، أين رحت فهي معي لا تفارقني، أنا حيسي خلوة، وقتلي شهادة، وإخراجي من بلدي سياحة
 (الوابل الصيب) 109
“Apa yang bisa dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Aku, surga dan taman-tamanku ada di dalam dadaku, dimanapun aku pergi maka mereka tidak pernah meninggalkanku, penjara bagiku adalah khalwat (menyepi dan bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla), jika aku terbunuh, maka aku syahid (Insya Allah) dan jika aku diusir dari negeriku, itu bagiku adalah seperti rihlah (tamasya).” [[1]]






Apa sebabnya? Karena ilmu agama yang ada pada diri seorang ulama bernama Ibnu Taimiyyah rahimahullahu. Kita bisa menjadi orang yang berbahagia ketika kita dibersamai dan memiliki ilmu agama. Karena dengan ilmu itu kita jadi tau bagaimana bersikap yang benar. Saat dapat musibah kita bersabar, saat dapat nikmat kita bersyukur, dan saat berbuat dosa kita beristighfar.  Begitulah karakter seorang yang beriman, yang punya ilmu. Dia pandai bersikap diberbagai kondisi dan cobaan.

Ilmu agama menjadi prioritas pilar-pilar kebahagiaan, itulah sebabnya Nabi selalu mengulang-ulang permintaan ilmu yang bermanfaat. Setiap bada subuh beliau selalu berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima.” [[2]]

Kata para ulama, 3 hal yang diminta Nabi setiap hari adalah 3 pilar kebahagiaan, yang mana jika 1 hari saja kita terluput dari 3 hal ini, akan hampalah hari-hari kita dan hilanglah kebahagiaan. Karena pilar-pilar kebahagiaan ada pada ilmu yang bermanfaat, rezeki yang thayyib, serta amal yang diterima.



“Karena pilar-pilar kebahagiaan ada pada ilmu yang bermanfaat, rezeki yang thayyib, serta amal yang diterima.”

Ustadz Erlan Iskandar hafizhahullahu
 

Ilmu yang bermanfaat menjadi permintaan pertama yang diminta Nabi . Dari sini kita belajar, bahwa ilmu yang bermanfaat harus senantiasa dipanjatkan, diminta, diharapakan pada Allah semata. Doa ini mengandung faidah yang melimpah, diantaranya :
1.       Ilmu itu asas pokok dari segala hal, oleh sebab itu ilmu yang bemanfaat diminta terlebih dahulu sebelum rezeki yang thayyib dan amal yang diterima. Dengan ilmu yang bermanfaat kita jadi bisa membedakan mana rezeki yang halal mana yang haram. Dengan ilmu yang bermanfaat kita bisa tau mana amal yang diterima,dan  mana amal yang tidak diterima.
2.       Meminta rezeki yang thayyib sebelum amal yang diterima, karena rezeki kita menentukan bagaimana semangat kita dalam beramal. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا
 “Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.” QS Al-Mukminun 51

Makanan dan minuman yang masuk ke dalam badan dan rezeki yang kita terima, menentukan semangat kita dalam beramal. Ketika rezeki yang masuk adalah yang halal maka semakin mudah beramal ketaatan. Dan sebaliknya, rezeki, makanan, minuman yang haram baik dzat ataupun cara mendapatkannya maka akan membuat badan lesu, lemah dan tidak semangat melakukan ketaatan. Inilah sebab orang-orang yang suka mabuk, pakai obat terlarang, dan yang selainnya sangat sulit untuk sholat, beribadah dan bentuk ibadah lainnya.

Imam Bukhori rahimahullahu sampai membuat judul bab العلم قبل القول و العمل, “Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal” hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak di sembah kecuali Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”  QS. Muhammad 19

Di awal ayat dikatakan فَاعْلَمْ : artinya maka ketahuilah, maka ilmuilah. Isyarat untuk العلم ,berilmu sebelum melakukan sesuatu.
أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ    : mengisyaratkan القول perkataan.
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ : mengisyaratkan amal.

Orang-orang yang belajar ilmu agamanya benar, tidak akan mengambil solusi bunuh diri dalam hidupnya. Orang-orang yang jauh dari ilmulah yang mengambil solusi bunuh diri, karena dia menganggap bahwa bunuh diri adalah solusi terakhir. Dia beranggapan bahwa meninggal dunia itu peristirahatan terakhir. Padahal kita setelah tau ilmu agama, tidak demikian kenyataannya. Alam kubur bukan peristirahatan yang terakhir, ia hanya sebatas transit saja. Allah Ta’ala berfirman,

حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” QS At-Takatsur : 2

Dikatakan زُرْتُمُ , dari kata ziarah, hanya sebentar. Maka ini menunjukkan di dalam kubur hanya sementara, masih ada tahapan-tahapan kehidupan dimana kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Bahkan sesungguhnya orang-orang yang sudah meninggal itu berharap bisa hidup lagi untuk beribadah dalam ketaatan.
Allah Ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (٩٩)
لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (١٠٠)
“Hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, “Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku beramal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkan saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” Qs Al Mukminun: 99-100

Maka berbahagialah orang yang memiliki ilmu agama, karena ilmu agama memiliki banyak keutamaan diantaranya :
1.       Ilmu agama adalah cahaya yang akan menerangi kehidupan kita. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورً
نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” QS. Asy-Syura Ayat 52
Allah sebutkan kata رُوحًا, karena ruh itu sifatnya menghidupkan raga dan badan. Begitu pula Al-Quran, akan menghidupkan hati dan iman, inilah fungsi Al-Quran. Inilah dalil bahwa ilmu agama adalah cahaya yang diberikan Allah pada hamba yang dikehendaki. Sehingga kita bersyukur, karena dimudahkan menuntut ilmu agama.


 
Di satu sisi kita bersyukur, namun di sisi lain kita merenung, betapa banyak ilmu agama yang belum kita kuasai. Banyak majelis-majelis ilmu yang belum kita datangi, banyak cabang-cabang ilmu yang belum kita pelajari.


Sedangkan Allah berfirman,
ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” QS. Al-'An`am : 6

 Ayat ini berkaitan dengan sifat Allah yaitu Masyi’atullah, kehendak Allah. Dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullahu mengenai hal ini, “Apa-apa yang menjadi kehendak Allah pasti berkaitan dengan hikmah.” [[3]]
Artinya, orang-orang yang diberikan ilmu agama adalah orang yang Allah kehendaki mendapat hidayah, semua karena hikmah Allah. Bukan karena terpaksa, bukan karena tanpa alasan atau serampangan.

2.       Karena orang-orang yang berilmu punya keistimewaan. Diantaranya, persaksiannya disandingkan dengan persaksian Allah. Allah ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS Ali Imran : 18

Tidaklah sesuatu yang dikaitakan dengan Dzat Yang Maha Mulia kecuali sesuatu itu juga mulia. Persaksisan orang yang berilmu tentang hal yang paling mulia yaitu kalimat syahadat. Hal ini menunjukan kemuliaan ahli ilmu.

3.       Ilmu menjadikan kita semakin takut, sebagaimana firman Allah ta’ala
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” QS Fatir : 28
Khosyah, atau rasa takut, itu berbeda dengan khauf, khosyah lebih agung daripada khauf. Karena khosyah adalah takut yang disertai dengan ilmu, kecintaan dan pengagungan, yang dimiliki oleh orang-orang yang berilmu.
Jika kita sudah rajin datang ke pengajian, tapi tidak bertambah rasa takut pada diri kita kepada Allah, maka kita harus curiga, jangan-jangan ilmu yang kita punya bukan ilmu yang bermanfaat.

u


Bisa kita cek, semisal kita di kamar kos sendirian, kuota internet kencang, youtube terpampang lebar, tidak ada orang di kamar selain kita saja. Di situlah ilmu agama kita terlihat, apakah kita takut pada Allah atau tidak.
Maka dengan rasa takut inilah seorang hamba akan bahagia, dia makin cinta, makin kenal, makin dekat dengan Allah. Inilah yang melahirkan kebahagiaan, kemudian jadi semangat beramal. Contohnya bahagia ketika buka puasa, dalam hadis qudsi Allah ta’ala berfirman,
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.”[[4]]

4.       Banyak keutamaan bagi penuntut ilmu. Nabi Muhammad bersabda,
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”[[5]]

Inilah alasan, ternyata jalan kita menuju surga dipermudah. Kata طَرِيقًا (jalan), adalah isim nakiroh  yang diawali isim syarat مَن menunjukkan makna umum. Artinya semua jalan, baik jalan konkret maupun jalan abstrak. Jalan konkret dapat  berupa jalan kaki, naik kendaraan, lewat jalan yang jauh, becek dll. Sedangkan jalan yang abstrak baik berupa mencatat, menghafal, menyebarkan dll.
Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullahu  menjelaskan, mengapa orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya ke surga, ada 2 hal :
a.       Dengan ilmu orang akan mudah beramal dan beribadah, dan dari amal ibadah inilah akan membuat rahmat Allah melimpah, dan dengan rahmat Allah yang melimpah inilah seseorang akan dimudahkan masuk surga.
b.       Karena hakikat ilmu itu sendiri, ilmu memiliki keutamaan yang besar, dan menuntut ilmu adalah salah satu contoh ibadah.



                 Nabi bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga.”



 وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ ٍ
“Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan.”





الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air.”



وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.”



إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر
“Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.” [[6]]

Dari hadits di atas dapat diambil beberapa faidah :
a.       Bahwa sayap malaikat bisa dilepas. Malaikat meletakkan sayapnya karena ridho dengan apa-apa yang diperbuat penuntut ilmu.
b.       Didoakan makhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan didoakan hewan. Hal ini karena dua alasan, pertama karena orang yang punya ilmu agama punya adab dan etika pada hewan-hewan, memperlakukan mereka dengan baik. Orang yang punya ilmu tahu larangan berbuat kerusakan di muka bumi. Kedua, karena dengan adanya orang-orang yang memiliki agama, menandakan masih ada orang sholih di semesta, dan orang sholih ini bisa mencegah bencana dengan ilmu. Karena bencana tidak hanya menimpa manusia, tapi juga hewan.
c.        Ulama adalah pewaris para nabi, orang yang berilmu adalah yang mewarisi harta kekayaan Nabi . Warisan adalah turunan, tidak bisa dimodifikasi.

Jadi kesimpulannya, bahagia itu tidak dengan banyaknya harta, tidak pula dengan menjadi manusia yang populer, tapi bahagia itu dengan ilmu agama. Ilmu yang dengannya kita bisa beramal dengan cara yang benar. Dan ilmu itu tidak didapatkan kecuali di majelis ilmu, maka mari perbanyak duduk di majelis ilmu syari, mengikatnya dan mengamalkannya. Karena kebahagiaan yang hakiki itu ketika kita berhasil melangkahkan kaki di surga, kelak.
Allahumma inna nasalukal jannah, wanaudzubika minannaar. Aaamin

Wallahu ta’ala a’lam.
Semoga bermanfaat.






Rekaman kajian dapat dilihat pada kanal youtube Masjid Pogung Raya, “Bahagia dengan Ilmu”.
Atau link berikut ini :










Jogja, 20 Jumadats Tsaniyyah 1141H
Al-Faqirah ila magfirati rabbihaa

                                                                                                                                                                     Ratna A Arilia Y






[[1]]Al Madaakhil ilaa Aatsaari Syaikhil Islam wa Maa Lahiqa min A’maal, hal. 41-48, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah.
[[2]]HR. Ibnu Majah no. 925. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.
[[3]]Al-Qaulul Mufid 'ala Kitab Tauhid
[[4]]HR. Al-Bukhâri no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538; Muslim no. 1151; Ahmad II/232, 266, 273; Ibnu Mâjah no. 1638; An-Nasa-i IV/163-164; dan Ibnu Khuzaimah no. 1896, 1900
[[5]] HR. Muslim, no. 2699
[[6]] HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram

https://www.instagram.com/attadzkirah.blogspotcom/
| Designed by Colorlib