Cacatnya
Adab Seorang Wanita
(di majelis
ilmu)
Wanita,
kaum spesial yang sulit dipahami, bahkan saya terkadang juga bingung dengan
diri saya sendiri. Wanita, tidak dipungkiri memiliki cacat dalam belajar adab
ketika di majelis ilmu. Tulisan ini sebagai renungan pribadi karena masih
kurangnya adab pada diri, semoga Allah beri manfaat.
Disampaikan
oleh guru kita Ustadz Hanan Yasir hafizhahullahu dalam Dauroh Hadits
Arbain Mahad Ilmi beberapa waktu lalu, betapa banyak akhwat yang kurang
adabnya, bisa jadi karena akhwat tidak bisa melihat langsung dan belajar adab
dari ustadznya ketika kajian karena tertutup hijab. Dari sini kita tahu betul,
apa yang terjadi di balik hijab, kemungkinan ada yang selonjoran, ada
yang menguap tidak henti-henti, bahkan sampai mimpi indah, ada yang makan
dengan lahap, ada yang sibuk dengan layar 5 inchnya, ada yang sibuk
ngobrol dengan kawannya dan tindakan-tindakan kurang adab lainya. Dari sini
kita sudah tau, memang kita kurang adabnya, oleh sebab itu rasanya sangat
penting untuk terus mengikuti kajian seputar adab, istiqomah di dalamnya dan
tentu mengamalkan ilmunya.
Disampaikan
pula oleh guru kita Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas hafizhahullahu, beliau berkata :
“Ada di antara penuntut ilmu syar’i yang rajin menghadiri majelis-majelis ilmu, namun ia tidak mendengarkan pelajaran yang disampaikan dengan penuh perhatian, sehingga keadaan dia ketika pulang dari majelis ilmu itu sama dengan keadaannya ketika mendatanginya, yaitu pulang tidak membawa ilmu syari.” [1]
“Ada di antara penuntut ilmu syar’i yang rajin menghadiri majelis-majelis ilmu, namun ia tidak mendengarkan pelajaran yang disampaikan dengan penuh perhatian, sehingga keadaan dia ketika pulang dari majelis ilmu itu sama dengan keadaannya ketika mendatanginya, yaitu pulang tidak membawa ilmu syari.” [1]
Dari
sini sudah mulai faham bukan, coba kita mikir sedilit (berfikir
sebentar), apakah itu kita? apakah itu saya? akhwat yang boleh jadi masih
kurang dalam adab saat di majelis ilmu.
Coba
kita renungkan,
“Dalam majelis Abdurahman bin Mahdi rahimahulahu (wafat tahun 198H), tidak ada seorangpun yang berbicara, tidak ada pensil yang diraut dan tidak ada seorangpun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat.” [2]
Tidak terbayang betapa khusyu’nya para salaf kita dalam menuntut ilmu zaman dulu, kalau saat ini bagaimana? hemb, tidak perlu dijelaskan, kadang bahkan saya tidak bisa benar-benar konsentrasi saat kajian karena bisingnya suara. Semoga Allah anugerahkan akhlaq dan adab yang baik pada kita sehinga kita terhindarkan dari akhlaq dan adab yang buruk.
“Dalam majelis Abdurahman bin Mahdi rahimahulahu (wafat tahun 198H), tidak ada seorangpun yang berbicara, tidak ada pensil yang diraut dan tidak ada seorangpun yang berdiri. Seolah-olah di atas kepala mereka ada burung atau seolah-olah mereka sedang shalat.” [2]
Tidak terbayang betapa khusyu’nya para salaf kita dalam menuntut ilmu zaman dulu, kalau saat ini bagaimana? hemb, tidak perlu dijelaskan, kadang bahkan saya tidak bisa benar-benar konsentrasi saat kajian karena bisingnya suara. Semoga Allah anugerahkan akhlaq dan adab yang baik pada kita sehinga kita terhindarkan dari akhlaq dan adab yang buruk.
Ustadz
Yulian Purnama hafizhahullahu ketika menyampaikan pelajaran dari kitab Min
Washoya ‘Ulamai lith Tholabatil ‘Ilmi,
Imam Ajurri rahimahulahu (wafat 320H) mengatakan : “Ketika seseorang penuntut ilmu mencintai duduk di majelis para ulama, para ustadz, maka hendaklah dia duduk dengan penuh adab, penuh ketawadhuan, dan merendahkan suaranya dari gurunya , bertanya dengan penuh ketundukan yang dengan pertanyaan itu ia mendapat manfaat untuk ibadahnya....” [3]
Imam Ajurri rahimahulahu (wafat 320H) mengatakan : “Ketika seseorang penuntut ilmu mencintai duduk di majelis para ulama, para ustadz, maka hendaklah dia duduk dengan penuh adab, penuh ketawadhuan, dan merendahkan suaranya dari gurunya , bertanya dengan penuh ketundukan yang dengan pertanyaan itu ia mendapat manfaat untuk ibadahnya....” [3]
Beliau menjelaskan,
penuntut ilmu harus beradab terhadap gurunya, zaman dahulu bahkan para ulama
tidak enggan untuk pergi meninggalkan majelisnya ketika ada murid yang ngobrol.
Guru
kita Ustadz Aris Munandar hafizhahullahu dalam suatu kesempatan beliau
pernah ditanya kira-kira demikian isinya,
“Ustadz apakah saat kajian seorang penuntut ilmu boleh makan dan minum?” Ustadz menjawab,
“Ya kalau makan permen untuk menghilangkan kantuk, capek dll tidak mengapa, minum air, juga tidak apa-apa secukupnya saja, tapi jika kalian makan minum terus, sedang ustadznya di depan ngos-ngosan menjelaskan materi itu tidak beradab namanya.” Kemudian majelis diiringi tawa kecil para santri beliau.
“Ustadz apakah saat kajian seorang penuntut ilmu boleh makan dan minum?” Ustadz menjawab,
“Ya kalau makan permen untuk menghilangkan kantuk, capek dll tidak mengapa, minum air, juga tidak apa-apa secukupnya saja, tapi jika kalian makan minum terus, sedang ustadznya di depan ngos-ngosan menjelaskan materi itu tidak beradab namanya.” Kemudian majelis diiringi tawa kecil para santri beliau.
Dikesempatan
lain juga beliau pernah ditanya,
“Ustadz bagaimana yang seharusnya dilakukan ummahat yang memiliki anak balita atau bayi dan mengajaknya ke majelis ilmu tetapi tidak ada jaminan bayi tersebut tidak menangis dan mengganggu kajian?”
“Ustadz bagaimana yang seharusnya dilakukan ummahat yang memiliki anak balita atau bayi dan mengajaknya ke majelis ilmu tetapi tidak ada jaminan bayi tersebut tidak menangis dan mengganggu kajian?”
Jawaban beliau :
“Kasih saja anaknya pada bapaknya.” Hanya seperti itu saja jawaban Ustadz.
Tapi
saat itu saya termenung, jawaban ustadz tidak berhenti bagi saya. Saya coba
memahami jawaban ustadz dari banyak sisi :
1. Jika si anak
menangis atau membuat kegaduhan kemudian diberikan pada bapaknya, kemungkinan
besar bapaknya tidak bisa membawa si anak untuk ngaji, duduk di depan ustadz,
jadi kesimpulannya diajak pulang.
2. Jika si anak
menangis kemudian diberikan pada bapak, bisa jadi anak diam dengan konsekuensi
si bapak juga harus meninggalkan majelis dan si ibu tetap di majelis, tapi ini
kurang masuk di akal saya.
3. Tawakkuf, diam
saja, saya maknai apa adanya sesuai dhohir lafadz jawaban ustadz.
Setelah
itu, saya berdiskusi dengan beberapa kawan dan guru, karena saya merasa ini
penting bagi saya. Jika kelak punya anak, sedang saya sangat suka duduk di
majelis ilmu apa yang baiknya dilakukan agar tetap dapat ilmu tapi tidak
mengganggu jamaah lain. Karena sungguh, mungkin kawan-kawan lain juga mengalami
betapa terganggunya kita ketika kajian ada yang ngobrol seru, atau ada hp bunyi
terus, atau ada suara orang makan snack kriuk-kriuk selama kajian, atau
bayi nangis tidak tau ibunya yang mana dll.
Kenapa
saya sampai terfikirkan hal demikian? karena ini pernah kejadian, di salah satu
masjid tersohor di Jogja, saat itu ada kajian, selama kajian ada anak nangis,
sedikit terganggu tapi bisa dimaklumi. Kemudian sampai pada sesi sholat
berjamaah. Si anak menangis histeris, kami (yang sedang haidh) tidak tahu ibunya
yang mana, kami coba tenangkan. Mulai rakaat pertama tangis si bayi pecah, imam
bahkan tidak konsentrasi sehingga biasanya bacaan suratnya panjang, kali ini “hanya”
membaca Al-Ikhlas dan An-Naas. Bahkan ada ibu-ibu pengurus masjid yang menegur
kami untuk membawa pulang bayi tersebut, kami bingung karena kami bukan ibunya (hehe).
Ibu pengurus masjid sampai berkata,
“Mbak, itu mbok dibawa pulang saja bayinya, kasian imamnya sampai tidak konsentrasi, saya saja sampai batalin sholat untuk kesini (beliau dari lantai 1 sampai naik ke lantai 2 untuk memberi nasihat).” Kita bingung karena memang bukan kita ibunya. Intaha.
“Mbak, itu mbok dibawa pulang saja bayinya, kasian imamnya sampai tidak konsentrasi, saya saja sampai batalin sholat untuk kesini (beliau dari lantai 1 sampai naik ke lantai 2 untuk memberi nasihat).” Kita bingung karena memang bukan kita ibunya. Intaha.
Maka
setelah berdiskusi ringan bersama kawan dan ustadzah, mencari faidah dari hal
di atas, saya dapat kesimpulan :
- Streaming, ini jawaban terbaik sampai hari ini,
karena sudah banyak InsyaAllah rekaman kajian. Jika keadaan si bayi memang tidak bisa
dikoondisikan, si anak belum tahu bagaimana sikap di majelis ilmu, masih sangat
kecil dan faktor lainnya, maka streaming adalah solusi yang bijak.
- Bawa anak ketika umurnya sudah cukup, sudah tahu adab, sudah bisa dikasih tahu, atau masih bayi tidak megapa asal masih bisa dikondisikan.
InsyaAllah
tetap mendapat pahala. Karena kita juga harus menghargai jamaah lain, tidak
menimbulkan kemudharatan karena ingin mengambil sebagian manfaat. Dan
maasyaAllah saya temui hal demikian ada pada senior-senior kajian saya di Jogja.
Na’am,
beberapa nasihat dari Ulama dan Ustadz kita di atas perlu menjadi perenungan
bersama. Kesimpulan dari tulisan saya di atas, ada beberapa hal kecil yang bisa
kita lakukan agar tidak banyak cacat yang kita miliki, seperti halnya :
- Memposisikan diri serapi mungkin, duduk tegap, senantiasa memilih shaff paling depan dahulu jika tidak ada uzur.
- Tidak rebahan, tidak tersungkur di atas meja, tidak mainan hp tanpa ada perlu mendesak.
- Tidak ngobrol sendiri, saling menegur jika ada yang kelewatan ngobrolnya. Plis, bersama-sama belajar diam, diam yang memperhatikan materi bukan diam ketiduran. Kalau tau temannya mulai ngantuk, suruh cuci muka, wudhu ,minum atau "dicubit imut" jika diperlukan.
- Tidak makan makanan berat, snack kriuk-kriuk, serasa di warung. Kalau ada snack dibagikan ya dimakan setelah kajian selesai, setelah ustadz menutup majelisnya. Kalau lapar sekali ya ke belakang, makan dulu. Baiknya keadaan kita saat berangkat atau saat di majelis tidak kelaparan dan tidak kekenyangan sehingga tidak ngemil terus atau tidak ketiduran.
- Bisa mengkondisikan anak jika memang membawa anak.
Wallahu ta’ala a’lam. Hanya Allah
yang beri taufik.
Barakallahu fiikunaa.
Pogung Dalangan, 17 Jumadats
Tsaniyyah 1441H
Al-Fakirah ila ‘afwi rabbihaa
Ratna Arilia
Catatan kaki :
[1] Adab & Akhlak Penunut Ilmu
hal 36
[2] Adab & Akhlak Penunut Ilmu
hal 36
[3] Min Washoya ‘Ulamai lith
Tholabatil ‘Ilmi, hal 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar