كتاب التوحيد
Kitab Tauhid



Kitab Tauhid
Karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu


Dibahas oleh guru kami
Ustadz Ikrimah
hafizhahullahu

Di kajian Rutin Ma’had Ilmi
Sabtu, 14 Jumadats Tsaniyyah 1441H
Pertemuan ke-1 Semester II

Masjid Al-Ashri Pogungrejo,
Pogungrejo, Sleman, Yogyakarta




Ditulis oleh :
Team Transkrip

Diterbitkan oleh :
At-tadzkirah.blogspot.com


TRANSKRIP MA’HAD AL-ILMI YOGYAKARTA 1441 H
KITAB TAUHID
PERTEMUAN 1
SENIN, 14 JUMADATS TSANIYYAH 1441 H / 8 FEBRUARI 2020


BAB 43
Orang yang Tidak Rela dengan Sumpah yang Menggunakan Nama Allah

Bab dalil-dalil tentang ancaman yang sangat keras bagi orang yang tidak ridha atas orang lain yang bersumpah menggunakan nama Allah.

A.     Hubungan Bab dengan Kitab Tauhid[1]
Seseorang yang tidak ridha terhadap orang yang bersumpah kepadanya dengan menyebut nama Allah, dapat mengurangi kesempurnaan tauhid. Mengapa demikian? Karena hakikatnya ia tidak mengagungkan Allah. Seandainya ia mengagungkan Allah, ia akan ridha dengan orang yang bersumpah kepadanya dengan menyebut nama Allah. Semakin mengagungkan Allah, menunjukkan semakin sempurnanya tauhid seseorang. Jika kurang pengagungannya kepada Allah, menunjukkan kurangnya tauhid.

B.     Penjelasan Judul Bab[2]
Para ulama berselisih tentang kondisi orang yang tidak ridha dengan orang yang bersumpah kepadanya dengan menyebut nama Allah. Terdapat 3 pendapat ulama :
1.      Pendapat pertama, pemasalahan ini tatkala ada orang yang berselisih, dan salah satunya bersumpah dengan nama Allah di depan qadhi (hakim). Tatkala salah seorang itu bersumpah di depan qadhi maka wajib baginya untuk menerimanya. Ia harus ridha.
2.      Pendapat kedua, hadits yang menunjukkan hal ini “umum” dalam segala keadaan, di depan qadhi atau tidak, dan di setiap keadaan. Hadits ini menunjukkan keumuman makna. Secara dzahir pendapat  ini lebih tepat, yaitu yang menyebabkan wajibnya kita ridha adalah dalam rangka pengagungan kepada Allah, meskipun dia berdusta. Kita tidak boleh menampakkan ketidakridhoan atas kedustaan dia, karena ridhonya kita semata-semata untuk mengagungkan Allah bukan ridho dengan kedustaanya.
3.      Pendapat ketiga ini lebih rajih[3].
Wajib bagi kita untuk ridha kepada orang yang bersumpah dengan nama Allah jika kita mengetahui kejujurannya. Jika ia orang fajir dan fasik maka tidak wajib bagi kita untuk membenarkan. Jika tidak jujur, tidak wajib kita ridha. Diperintahkan untuk orang yang bersumpah itu dia mengucapkan dengan jujur.

Permasalahan yang terkait 5 hal:
a.       Keadaan pertama jika diketahui kedustaanya, kita boleh mendustakannya, tidak wajib percaya.
b.      Lebih condong atas kedustaannya, ada kemungkinan benar hanya 20% maka tidak lazim bagi kita membenarkan orang tersebut.
c.       Sama antara 2 perkara (benar 50% salah 50%) dan kita tidak bisa menilai dan tidak mampu menimbang, maka wajib bagi kita untuk membenarkannya.
d.      Kemungkinan besar ia jujur maka wajib bagi kita membenarkannya.
e.       Jika diketahui ia jujur, maka wajib bagi kita membenarkannya.

C.     Penjelasan Dalil
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Janganlah kamu bersumpah dengan nama nenek moyangmu! Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, hendakah ia berkata benar, dan barangsiapa diucapkan padanya sumpah dengan menyebut nama Allah hendaklah ia rela (menerimnya). Barangsiapa yang tidak rela maka dia tidak mendapat apa-apa dari Allah.” [4]

Hadits ini menunjukkan tidak boleh bersumpah dengan nama selain Allah. Sama saja ia bersumpah dengan benda mati maupun manusia, hukumnya tidak boleh. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjelaskan sedikit/dari satu sisi yaitu لا تحلفوا بابىئكم. Orang Arab sangat mengagungkan orangtua mereka, sampai dipakai untuk bersumpah.
Jika kita bersumpah wajib untuk jujur. Para ulama menjelaskan orang yang bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan dusta (sumpah al-ghamus) maka berarti pelakunya menyeburkan dirinya ke dalam dosa dan neraka. Perbuatan ini termasuk dosa besar.  Syahid dalam pembahasan ini, apabila ada yang bersumpah dengan nama Allah maka wajib jika diketahui bahwa ia jujur. Ini menunjukkan kesempurnaan iman. Barangsiapa yang tidak ridha dengan orang yang bersumpah dengan nama Allah, maka Allah berlepas diri dengan orang tersebut.

D.     Faidah yang Dapat Diambil yaitu[5]:
1.      Ancaman yang sangat keras terhadap orang yang tidak ridha jika ada orang yang bersumpah dengan nama Allah.
2.      Wajibnya jujur dalam bersumpah.
3.      Haramnya berdusta dalam bersumpah.
4.      Wajibnya untuk husnudzan terhadap sesama muslim selama kita tidak tau akan kedustaannya.
5.      Wajibnya membenarkan orang yang bersumpah.








Bab 44
Ucapan “Atas Kehendak Allah dan Kehendakmu”
Bab larangan mengucapkan ماشآءالله وشئت

A.     Hubungan Bab dengan Kitabut Tauhid
Apa-apa yang  telah datang dari perkataan ماشآءالله وشئت berdasarkan dalil, terdapat kesyirikan. Karena di dalam kalimat tersebut  bermakna menyandingkan sesuatu dengan Allah. Jika mengucapkan itu maka telah menyamakan Allah dengan makhluk dalam hal kehendak. ماشآءالله وشئت, dalam kalimat tersebut terdapat huruf و taswiyyah yang bemakna penyamarataan.
·         Apabila orang yang mengatakan tidak meyakini dalam masyi’ah maka tetap perkataan itu dihukumi syirik dalam lafadz.
·         Jika ia meyakini dalam hati (ini larangannya sangat besar) maka termasuk syirik yang lebih besar.

B.     Hukum Perkataan ماشآءالله وشئت
a.       Jika ia meyakini taswiyah ini sama dengan kehendak Allah walau ia mendatangkan kata ثمّ maka ini syirik akbar (diiringi keyakinan)
b.      Ia tidak meyakini kehendak Allah dengan makhluk maka ini syirik asghar (syirik dalam ucapan)

Perkataan yang benar terkait dengan ucapan ini ada 2 tingkatan yaitu:
a.       Kita mengucapkan ثمّ tanpa ada keyakinan bahwa ada kehendak selain Allah, ini boleh. Seperti hadits dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu mengucapkan ماشآءالله و فلان  [6]
b.      Menyandarkan segala sesuatu itu kepada Allah saja. وحده ماشآءالله ini lebih afdhal dan lebih baik. Yang artinya ini adalah kehendak Allah semata.

C.     Penjelasan dalil
1. Dari Qutailah radhiyallahu ‘anha, diriwayatkan,
“Bahwasanya seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata ‘Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan syirik, kalian mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, dan mengucapkan, ‘Demi Ka’bah’. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu’.” [7]
Faidah dari hadits ini :
1.      Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari orang yahudi, karena apa yang mereka ucapkan adalah benar.
2.      Disyariatkan kembali kepada kebenaran jika telah nampak kebenaran tersebut.
3.      Selayaknya bagi seseorang yang mengubah sesuatu hendaklah diiringi dengan mengganti sesuatu yang benar. Melarang dengan memberitahu gantinya.
4.      Orang Yahudi mereka memahami akan kesyirikan namun sebagian dari umat ini tidak memahami hakikat kesyirikan.

2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
Bahwa ada seseorang yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’. Maka bersabdalah beliau, ‘Apakah kamu menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah? Hanya atas kehendak Allah saja’.”[8]
Faidah dari hadits ini :
1.      Bahwasanya menggabungkan kehendak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kehendak Allah dengan lafadz yang mengandung pensejajaran dengan Khaliq maka ini termasuk kesyirikan walaupun ia meyakini Allah lebih tinggi daripada kehendak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini termasuk syirik ashgar.
2.      Wajibnya mengingkari kemungkaran, tidak boleh diam terhadap kesyirikan yang ada di depan kita.
3.      Perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa ini termasuk dalil bukan berdasarkan akal semata.
4.      Jika kita melarang akan sesuatu perkataan atau perbuatan hendaklah memberitahu gantinya.

3. Dari Ath-Thufail radhiyallahu ‘anhu (saudara seibu dengan Aisyah radhiyallahu ‘anhaa), ia berkata,
Aku bermimpi seakan-akan aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi. Aku berkata kepada mereka, ‘Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Uzair putra Allah’. Mereka pun menjawab, ‘Sungguh kamu pun sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’. Lalu aku menjumpai sekelompok orang-orang Nasrani, maka aku berkata kepada mereka, ‘Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan , ‘Al-Masih putra Allah’. Mereka menjawab, ‘Sungguh kamupun sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’. Ketika pagi hari aku beritahukan mimpiku tersebut kepada kawan-kawanku, kemudian aku mendatangi Nabi dan aku beritahukan kepda beliau. Nabi bertanya ‘Apakah kamu telah memberitahukannya kepada seseorang?’ Aku menjawab, ‘Ya’. Lalu Rasulullah bertahmid dan memuji Allah, kemudian bersabda,
Amma ba’du. Sesungguhnya Thufail telah bermimpi sesuatu yang telah diberitahukan kepada orang-orang dantara kamu. Dan sesungguhnya kamu telah mengucapkan suatu ucapan yang ketika itu aku belum sempat melarangnya, kepadamu karena aku ada beberapa halangan, maka janganlah kamu mengatakan ,’Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad,’ akan tetapi katakanlah “Atas kehednak Allah semata’.”[9]

Faidah hadits ini :
1.      Mimpi itu terkadang benar, maka tidak boleh berdusta dalam mimpi. Mimpi yang dimaksud adalah mimpi yang merupakan kabar gembira dari Allah bukan mimpi berupa bisikan hati dan dari syaitan.
2.      Wajibnya menerima kebenaran dari siapapun.
3.      Orang yang melarang sesuatu hendaklah mendatangkan gantinya.
4.      Atas kehendak Allah dan kehendak fulan termasuk kesyirikan.
5.      Tidak boleh ghuluw terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.



Bersambung insyaAllah...



[1] Diambil dari  Kitab I’anatu Mustafid karya Syaikh Sholih Al-Fauzan
[2] Diambil dari  Kitab At-tamhid dan Qoulu Mufid
[3] Diambil dari  Qoulu Mufid, Syaikh Utsaimin lebih condong pada pendapat ini
[4] HR Ibnu Majah dengan sanad hasaan
[5] Diambil dari Kitab Mulakhos Kitab Tauhid karya Syaikh Sholih Fauzan
[6] HR. Abu Daud
[7] HR An-Nasai dan dinyatakan shahih
[8] HR. An-Nasai
[9] HR Ibnu Majah 2118, shahih



Semoga bermanfaat
Link pdf
https://drive.google.com/file/d/1aWmSPCsnY-hXKu6j5j8ihr7NGfUGJdI6/view?usp=sharing
Link rekaman kajian :
https://drive.google.com/drive/folders/16xAZPYQ0Eb2wVOn-BGeOqnyP5sWJnL67
Link pdf kitab :
http://waqfeya.com/book.php?bid=7781

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram

https://www.instagram.com/attadzkirah.blogspotcom/
| Designed by Colorlib