BUKAN ORANG
CERDAS DAN PUNYA BANYAK WAKTU
Sebagian orang lahir dengan
kelebihan yang diberikan Allah, dan melekat padanya, misalnya berupa kecerdasan dan
mudahnya ia menghafal. Tapi ada pula yang untuk bisa memahami suatu hal, merupakan sesuatu yang dia usahakan dengan susah payah, harus “jungkir balik”, meminimalkan waktu
tidur, memaksimalkan murojaah, meskipun akhirnya sadar pemahamanya tidak sebanyak yang lain, hafalanya tidak
bertambah banyak, pun nilai ujiannya banyak di bawah KKM. Bisa jadi demikian.
Ustadz Dr. Muhammad Nur Ihsan hafizhahullahu ketika
mengisi dauroh Kitab Ushul Shittah setahun lalu di Masjid Manunggal Bantul,
beliau memberikan faidah yang sangat bagus. Maknanya kurang lebih demikian, "Ketika kita adalah orang yang tidak dianugerahi hafalan yang kuat, tidak boleh menyerah. Semisal
kawan kita satu hari bisa setor 3 halaman, sedang kita 3 baris saja sudah
mati-matian tidak hafal-hafal. Maka kita harus khusnudzon pada Allah. Artinya
Allah menginginkan kebaikan pada kita dengan kita terus mengulang huruf-huruf dalam mushaf kita, daripada kawan kita yang dianugerahi kecerdasan yang berbeda. Bisa jadi dia 1x baca sudah hafal, sedang kita 30x baca baru sedikit hafal. Quran, setiap hurufnya mengandung 10 pahala kebaikan, maka dengan lebih banyak
mengulang-ulang, kita berharap pahala yang lebih banyak pada Allah, karena
semua takdir Allah itu baik, penuh hikmah."
Di kesempatan lain, Ustadz Aris
Munandar hafizhahullahu dalam pembahasan kitab Ithaful Kiram karya Syaikh Sholih
Fauzan hafizhahullahu, di kajian rutin pagi, Ramadhan 1440H. Hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Lihatlah orang yang di bawah
kalian, dan jangan melihat pada orang yang di atas kalian, sesungguhnya hal ini
akan menjadikan kalian tidak merendahkan nikmat yang Allah berikan pada kalian.” [1]
Syaikh Sholih Utsaimin rahimahulahu memberikan
tanggapan terhadap hadits di atas, bahwa yang dimaksud "melihat" adalah melihat
orang lain baik dalam urusan dunia maupun urusan agama. Ustadz Aris Munandar
hafizhahullahu menjelaskan, kita harus senantiasa bersyukur dengan nikmat
kecerdasan yang Allah berikan, yang kita miliki dan mengoptimalkanya setiap saat. Misal ada orang
yang mudah menghafal, duduk sebentar, kemudian hafal, dan hafalanya sudah 3 tahun
terus bertahan tidak hilang-hilang, melekat kuat. Maka, kita yang mungkin duduk
berjam-jam untuk belajar atau menghafal, hafalan itu hanya bertahan 3 hari
saja. Kita harus terus bersyukur, kenapa? karena
bisa jadi di luar sana ada yang berhari-hari berusaha duduk menghafal, saat ia
berdiri dari duduk, hafalanya sudah hilang. Tentu dalam urusan dunia juga
demikian, lebih mudah melihat orang yang ada di bawah kita.
Nah, setelah kita tahu kemampuan
diri, bahwa untuk konsentrasi saja kita butuh usaha keras. Untuk memahami kenapa si isim ini manshub, dia manshub sebagai apa. Mencari tahu sebenarnya nahwu itu untuk apa, kenapa banyak sekali yang harus dipelajari. Memahami kenapa wazan shorof sebanyak ini, sampai pusing setiap hari latihan mentasrif tidak kunjung hafal. Memahami bagaimana mengambil kesimpulan dari dua dalil yang bertentangan. Memahami konsekuensi lafadz tentang asma dan shifat Allah jika itu bukan dari Quran dan sunnah sesuai kaidah. Memahami hal-hal sederhana di sekitar kita ternyata banyak ucapan bernilai kesyirikan dan masih banyak lagi ilmu yang bahkan kulitnya saja kita belum mempelajarinya.
Harus terus meminta pertolongan Allah. Setelah kita tahu kebutuhan kita akan ilmu agama sangat banyak, sedangkan waktu kita hidup di dunia sangat terbatas, maka
tidak ada cara lain selain mengerahkan banyak tenaga, usaha dan doa agar kita
“kebagian” sedikit warisan para Nabi, yaitu ilmu agama. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [2]
Apalagi jika mengenal kajian
sunnahnya sangat telat, usia 20 tahunan baru tau ngaji, baru mulai belajar
Bahasa Arab, baru belajar tahsin, baru mau mulai menghafal misalnya, maka kita
tidak boleh minder (meskipun pasti ada rasa minder), tidak boleh putus asa meskipun kalah dengan anak-anak SD
yang hafalannya sudah banyak, atau anak SMP yang sudah fasih Bahasa Arab. Justru
kita harus lebih semangat, menjadikan hal tersebut pelecut diri. Memaksimalkan
sisa umur yang ada untuk hal yang bermanfaat.
Maka mulai saat ini kita harus semangat belajar. Semisal mengikuti Ma’had, membuat target apa saja yang hendak dicapai tahun ini, bersabar belajar Bahasa Arab
meski belum faham-faham, menahan lelah
belajar mengeluarkan makhorijul huruf yang benar, harus membaca berulang-ulang
agar faham bab di salah satu mata pelajaran misalnya, selelah itu memang.
Kenapa?
Tentu saja, ulama sekelas Imam Bukhori rahimahullahu saja sampai harus menempuh perjalanan 14000km tanpa motor tanpa pesawat untuk bisa menghasilkan kitab paling shohih kedua setelah Al-Quran, yaitu Shohih Bukhori.
Imam Nawawi rahimahullahu pernah tidak tidur dengan berbaring selama 20tahun, beliau jika mengantuk maka akan bersandar sebentar pada kitab-kitab kemudian kembali menelaah kitab. [3]
Fakhrudin Muhammad as-Sa'ti, ilmuan kedokteran dalam sejarah Islam. Ia menceritakan bagaimana ia mempelajari ilmu kedokteran dengan mengatakan, “Kaumku hasad kepadaku atas apa yang telah kuperbuat. Karena antara aku dan mereka adalah tempat tidur. Aku bergadang di malam hari. Sementara mereka terkantuk-kantuk. Tentu tidak sama antara orang yang belajar dan yang ngantuk.” [4]
Ibnul Jauzi rahimahullahu menceritakan, “Imam Ahmad bin Hambal sudah mengelilingi dunia sebanyak 2 kali hingga ia bisa menulis kitab Al Musnad” [5]
Imam Baqi bin Makhlad melakukan rihlah dua kali: dari Mesir ke Syam (sekitar Suriah) dan dari Hijaz (sekitar Mekkah) ke Baghdad (Irak) untuk menuntut ilmu agama. Rihlah pertama selama 14 tahun dan yang kedua selama 20 tahun berturut-turut [6]
Para ulama saja segigih itu dalam menuntut ilmu, sedangkan kita enak saja terus-terusan goler-goler di kasur, padahal sudah
ada motor, paling jauh kajian rutin mungkin 30km, ada mantel, ada gocar/grabcar. Begitu jika terguyur hujan sedikit, niatnya berangkat kajian sudah luntur, -sebegitu menyedihkan diri ini-.
"Kita bukan manusia cerdas yang hafal banyak ilmu, tapi kenapa magernya melebihi Sloth?" Ucap batin saya.
Kita tidak punya banyak waktu,
sungguh!
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas mengatakan “Kita harus meluangkan waktu dan menggunakan waktu
sebaik-baiknya untuk beribadah kepada Allah” [7]
Kenapa harus meluangkan waktu
untuk ibadah? Karena Allah telah berfirman yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku” QS Adz-Dzariyat 56.
“Maka apakah kamu mengira bahwa
kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwasanya kamu tidak
akan dikembalikan kepada Kami?” QS Al-Mu’minun 15
Sedangkan kita di zaman milenial
ini, bangun tidur, kemudian ada yang pergi ke sekolah/kampus/ tempat kerja
hingga sore, belum waktu untuk main
sosial media, belum lagi pulang-pulang lelah, ngantuk, cucian menumpuk,
deadline dimana-mana, lalu kapan ngajinya jika seperti ini terus? Umur kita sedikit, sedangkan ilmu agama begitu luas. Kita tidak punya waktu.
Mau tidak mau, iya, memang harus
sedikit memaksa diri untuk belajar. Bisa dengan cara mengikatkan diri di suatu Mahad secara offline bukan sekadar majelis online. Misal pagi-pagi berangkat belajar Bahasa Arab di Mahad, kemudian siang harinya mengurusi
dunia sebentar, sorenya ngaji, malamnya belajar lagi, ikut berpartisipasi dalam kegiatan dakwah, mengisi hari dengan kegiatan lain yang bermanfaat dunia-akhirat, dll.
Karena kita tidak bisa memilih
lahir dengan kecerdasan sebagaimana Imam Bukhori, yang kemampuan hafalanya kuat tidak
hilang-hilang. Kita tidak bisa memilih lahir keluarga yang sudah kenal sunnah atau belum, tapi kita
bisa mengusahakan, berikhtiar, agar Allah berikan keberkahan pada sisa umur
kita dengan memahamkan kita pada ilmu agama, agar Allah menolong kita, agar
Allah perbaiki akhir hidup kita. Kita tidak punya banyak waktu. Bergegaslah!
Barakallahu fiikunaa
Pogung, 14 Rajab 1441H
Referensi :
Ithaful Kiram Syarh Kitab Al Jami’ min Bulugh Al Maram, Karya Syeikh Sholih Fauzan Al Fauzan.
Waktumu Dihabiskan Untuk Apa?, Karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, terjemahan kitab “Kayfa tatahammas fi thalabil ‘ilmi asy syar’i” karya Abul Qa’qa Muhammad bin Shalih Alu Abdillah
Catatan kaki :
[1] HR Muslim 2963
[2] HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi
[3] Ibnu Qadhi Syubhah dalam Thabaqat asy-Syafi’iyah
[4] Ibnu Abi Ushaibi’ah dalam Uyunul Anba fi Thabaqat al-Atibba, 4/162
[5] Al Jarh Wat Ta’dil, Ibnu Abi Hatim
[6] Tadzkiratul Huffadz, 2/630
[7] Waktumu Dihabiskan Untuk Apa?, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar