Ketika Ilmu Agama Mengalir Di Darahmu"وفقه نفسه"


Ilmu agama yang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bawa sudah dijelaskan sejelas-jelasnya tanpa perlu diperdebatkan.

Islam melarang debat karena debat dapat menimbulkan الضغاءن atau ganjalan di hati. Dan ini merupakan hukuman dari Allah pada orang yang suka sekali debat hatinya akan ada ganjalan yang tidak enak. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,
 ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتوا الجدة
"Tidak akan sesat suatu kaum setelah datangnya petunjuk pada mereka kecuali orang yang suka debat." [1]

Bisa jadi sebelum debat hubungan kedua orang baik-baik saja, namun setelah debat, timbul rasa yang mengganjal karena sengitnya perdebatan. Bisa jadi setelah itu berubah sikapnya, tidak seperti dulu.

Namun, ternyata hal ini tidak berlaku untuk para salaf kita, para imam kita. Misalnya saja :
1.  Yunus as-safdy pernah mengatakan yang terjemah bebasnya kurang lebih demikian
"Tidaklah aku melihat orang yang lebih berakal dari Syafi'i. Pernah suatu hari setelah ada masalah, kemudian kami berpisah. Lalu di lain kesempatan Syafi'i mengatakan 'Wahai Abu Musa, tidakkah kita masih bersaudara meski kita tidak bersepakat atas suatu masalah?' "

Imam Adz-Dzahabi mengomentari hal ini.
، ...هذا يدل على كمال عقل هذا ألامام ، وفقه نفسه
"Ini menunjukkan atas sempurnanya akal dari para imam. Dan fiqih (ilmu agama) itu telah menyatu di darah dan dagingnya (menyatu dengan dirinya sendiri)"

Ustadz Aris Munandar hafizhahullahu menambahkan faidah yang begitu menyentuh. Beliau katakan,
 "Fiqih itu bukan semata-mata ilmu saat mengisi kajian, tapi tentang bagaimana kesehariannya, marahnya, debatnya dan perilaku kesehariannya. Banyak orang berilmu saat mengajar saja, namun saat marah seperti orang yang tidak berilmu sama sekali."
"Ilmu itu memantul di setiap perbuatan seseorang. Maka terlihatlah betapa Imam Syafi'i ketika dipegang tangannya, kemudian mengucapkan kalimat yang begitu indah."

Rasanya tidak terbayangkan betapa mengagumkannya kejadian di masa itu. Tidak ada dendam, rasa amarah, bahkan sedikit jengkel pun tidak. Tapi justru sikap kasih sayang sebagai saudara muslim yang terlihat.

2. Kisah Imam Ahmad. Dari Abbas bin Abdul Adzim al-anbary beliau berkata : "Aku pernah di dekat Ahmad bin Hambal. Kemudian datanglah Ali bin Madani sedang mengendarai hewan (beliau adalah ulama besar jarh wa ta'dhil, kawan Imam Ahmad. Beliaulah yang juga menjarh Imam Syafi'i, padahal Imam Syafi'i adalah guru Imam Ahmad bin Hambal). Kemudian mereka berdua terlibat diskusi yang cukup sengit terkait suatu hal sampai meninggi suara keduanya."
"Aku takut hubungan keduanya retak. Karena pendapat keduanya bertentangan. Namun ketikan Ali bin Madani hendak pergi, Imam Ahmad berdiri dan memegangi pijakan kaki pada hewan tunggangan Ali bin Madani (dalam rangka memuliakan)"
Intaha...

Dari sini kita banyak belajar bagaimana para imam kita adalah orang yang ilmu agama itu mendarah daging. Memantul dalam setiap gerak tubuhnya. Setelah debat sengit, tidak ada yang saling bermusuhan. Padahal kita tau Ali bin Madani menjarh Imam Syafi'i yang merupakan guru dari Imam Ahmad, tapi ketika itu tidak serta merta Imam Ahmad marah-marah. Tetap keduanya pakai kepala dingin.

Berbeda dengan kebanyakan anak muda, bisa jadi kita ketika di kelas, ada kegiatan presentasi sedikit, kemudian ada sesi tanya-jawab yang cukup panas dengan kawan. Besoknya sudah tidak mau menyapa.
Bisa jadi anak muda terlibat satu perdebatan sengit, mungkin awalnya bercanda. Namun karena baper dan belum meresap Ilmu agama di dalam diri kita, kita dengan mudah menghajr kawan kita. Mendiamkannya.

Maka sudah sepantasnya anak-anak muda harus memiliki keinginan kuat agar bisa membuat ilmu agama yang ia kumpulkan selama ini menjadi darah dagingnya, menjadi aliran darahnya, menjadi guide dalam bertindak, dan menjadi tuntunan hidupnya.

Ketika ilmu agama sudah mengalir di darahnya, menyatu dengan daging di tubuhnya, maka saat itulah, tindak-tanduk dan perilakunya adalah cerminan, pantulan dari kemuliaan agama itu sendiri. Ia akan menjauhi debat, dan senantiasa lebih mengormati orang lain.

Tidak perlu jauh-jauh untuk meneladani kisah seperti ini di majelis Ilmu Jogja. Salah satu pengajar kelas nahwu saya hafizhahallahu, setelah kajian berakhir, beliau menghampiri saya dan mengatakan, "Afwan ya dik, tadi pagi setelah selesai kelas ana tidak menatap anti ketika anti berbicara pada ana."

Ya Allah...serasa ingin nangis. Beliau yang notabene adalah guru saya, justru begitu memuliakan muridnya. Seharusnya sayalah yang memuliakan beliau lha ini malah terbalik. Saya ditampar dengan 2 tamparan sekaligus.
1. Ketika beliau mengatakan hal tersebut, saya sedang memiliki tanggungjawab dengan Hp, otomatis saya tidak melihat wajah beliau dengan seksama.
2. Beliau ajarkan adab bagaimana seharusnya muslim bersikap kepada lawan bicaranya.

Begitulah jika ilmu agama telah menyatu di dalam darah. Ia akan memantulkan adab islami yang begitu memukau. Hindarilah debat, apalagi debat kusir di sosial media pada hal-hal yang tidak penting. Tidak ada untungnya, justru akan menambah hisab saja kelak.
Maka kita anak muda.. teruslah belajar sampai pada titik وفقه نفسه,  sampai fiqih, Ilmu agama itu,  menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dirimu.

Barakallahu fiikum




Faidah kajian kitab 
Al-Ihtimamu Bis-Sunani Nabawiyyah. Bersama Ustadz Aris Munandar hafizhahullahu.  Masjid Al Ashri Pogungrejo

Referensi :
Al-Ihtimamu Bis-Sunani Nabawiyati. Syaikh Abdul Salam bin Barjaz Abdulkarim. Hal 97-100

Catatan kaki:
[1] HR Ahmad dan yang selainnya dari jalur Abu Umamah

Pogung Dalangan 16 Rajab 1441H
Ratna Arilia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram

https://www.instagram.com/attadzkirah.blogspotcom/
| Designed by Colorlib