شرح الورقات
في أصول الفقه
Syarh Waraqat fii Ushulil Fiqh
Semua pdf transkrip kajian reguler Mahad Ilmi bisa di akses di google drive berikut.
Diambil dari
Kitab Syarh Waraqat fii
Ushulil Fiqh
Karya Syaikh Sa’ad bin Nashir Ats-Syatsri rahimahullahu
Dibahas oleh guru kami
Ustadz Aris Munandar S.S, M.PI
hafizhahullahu
Di kajian rutin Ma’had Ilmi
Jumat, 4 Rajab 1441H
Pertemuan ke 3 Semester II
Mulai halaman 134
Masjid Pogung Dalangan
Pogung Dalangan, Sleman, Yogyakarta
Ditulis oleh :
Team Transkrip
Diterbitkan oleh :
TRANSKRIP MA’HAD AL-ILMI YOGYAKARTA 1441 H
USHUL FIQH
PERTEMUAN 3
JUMAT, 28
Februari 2020
Murojaah
ulang hal 131
Matan : Jika salah satu nash umum dari satu sisi namun khusus dari
sisi yang lain, maka sisi umum dari masing-masing keduanya di takhsis dengan
sisi khusus dalil lainya.
Penjelasan :
Contoh :
Hadits ke-1
“Barang siapa yang ketiduran ataupun terlupa dari 1 sholat maka hendaklah ia kerjakan sholat
saat dia ingat, dan tidak ada kafarah baginya kecuali itu” HR Bukhari no 597
dan Muslim no 680
Hadits ini umum dari sisi waktu baik waktu terlarang atau tidak
terlarang. Hadits ini khusus dari sisi
sebab ditinggalkan yaitu karena lupa atau karena ketiduran.
Dalil ke-2
“Tidak ada sholat setelah waktu ashar dan setelah waktu fajar” HR
Bukhari no 586 dan Muslim no 827
Hadits ini umum dari sisi sholat, baik terlupa sholat, sholat yang
terluput karena tertidur, sholat sunnah atau sholat-sholat lainya khusus dari sisi waktu.
Menurut muallif : kedua hadits umum dari satu sisi dan khusus dari
sisi yang lain. Maka sisi umum masing-masing hadits di takhsis dari sisi lain.
Kaidah mualif :boleh melakukan sholat qodho karena kelupaan atau
ketiduran di semua waktu kecuali di waktu terlarang.
Menurut Syaikh Saad : yang tepat di tarjih, masing-masing diambil
sisi umum kemudian ditarjih sisi umum. Diantara kadiah tarjih “makna umum
yang sedikit mengalami pengecualian lebih dimenangkan dari makna umum yang
mengalami banyak pengecualian”. Karena dalil ke-2 mengalami banyak sisi
umum daripada dalil ke-1 yang lebih umum.
Kesimpulan tarjih : boleh mengqodo sholat diwaktu manapun baik saat
waktu terlarang maupun tidak.
Lanjutan Bab Ijma
hal 134
Inqirodul Ashr
Gambaran
Inqirodul Ashr : misal ulama mujtahid di suatu masa jumlahnya 100 orang,
berkumpul semua kemudian berijma perkara A hukumnya demikian. Hukum perkara A
baru sah disebut ijma mana kala 100 ulama mujtahid ini setelah bubar tidak
berubah pendapat sampai meninggal dunia seluruh ulama mujtahid ini. Tidak ada
yang mengubah pendapatnya meskipun ada 1 ulama baru yang muncul sampai 100
ulama yang sebelumnya meninggal. Inilah ijma yang dikatakan sah.
Ulama ada yang
menjadikan Inqirodul Ashr sebagai syarat ijma, namun adapula yang tidak.
Tidak
disayaratkan Inqirodul Ashr menurut pendapat paling kuat.
Ada 2 pendapat
tentang Inqirodul Ashr dijadikan syarat
atau tidak.
1.
Ijma sahtanpa Inqirodul Ashr meskipun hanya sesaat, dan pendapat mereka
bisa jadi hujjah karena umat tidak akan sepakat dalam hal keliru.
2.
Hanabilah menyaratkan Inqirodul Ashr untuk syarat sah ijma
Buah
perselisishan / derivat dari perbedaan pendapat di atas :
1.
Jika Inqirodul
Ashr bukan syarat, tidak teranggap perkataan orang yang lahir di masa
ulama (mujtahid baru) yang telah bersepakat kemudian menjadi mujtahid.
Jika Inqirodul Ashr dijadikan syarat, maka teranggaplah / dipertimbangkan perkataan
orang yang lahir di masa ulama (mujtahid baru) yang telah bersepakat kemudian
menjadi mujtahid.
2.
Jika Inqirodul
Ashr dijadikan syarat, boleh ulama yang telah bersepakat untuk menarik
pendapatnya. Karena belum terjadi Inqirodul Ashr. Sedangakan diantara
syarat sah ijma dan kehujaan ijma adalah Inqirodul Ashr.
Jika Inqirodul Ashr bukan syarat, maka tidak boleh bagi siapapun
untuk meralat kesepakatan.
Ijma sah dengan perkataan atau perbuatan ulama
mujtahid. Macam-macam ijma :
1.
Ijma Qouli :
masing-masing ulama fiqih berpendapat.
pBisa disebut dengan ijma shorih
2.
Ijma Fi’li :
semua ulama fiqh melakukan suatu perbuatan yang sama. Contoh : di zaman ini
semua ulama mujtahid naik pesawat terbang, ini dalil bolehnya naiknya pesawat
terbang.
3.
Ijma juga bisa
terjadi ketika beberapa ulama melakukan suatu hal kemudian ulama yang lain
mendiamkan. Contoh : salah satu ulama mengatakan boleh naik pesawat terbang,
dan ulama yang lain tidak mengatakan apa-apa hanya naik pesawat tanpa
mengatakan hukum naik pesawat itu boleh. Maka hal ini juga sah disebut ijma.
4.
Ijma sukuti : pendapat
sebagain ulama dan tersebarerta diamnya ulama yang lain. Sah ijma, bisa
dijadikan hujjah dan boleh beramal dengannya. Dalilnya “Akan selalu ada sekelompok
dari umatku beada di atas kebenaran dan menang”
Perkataan
Sahabat
Perkatan salah
satu sahabat bukanlah hujjah bagi sahabat yang lain, ini;ah pendapat dalam
Qoulul Jadiid (Imam Syafii)
Hal yang di
maksud di atas yaitu semua pendapat yang dinisbatkan baik ucapan atau
perbuatan. Ulama ushul fiqh memperselisihkan tentang siapa sahabat, ada beberapa
pendapat :
1.
Orang yang
berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan beriman
dan meti dalam keadaan beriman meskipun hanya bertemu sesaat.
2.
Sahabat harus
bertemu dengan Nabi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam waktu yang lama, karena kehujaahan sahabat harus dengan cara
membersamai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam waktu yang lama sehingga bisa didapat kesimpulan
Qoulu shahaby
termasuk perbuatan dan perbuatan sahabat. 3 Pendapat sahabat :
1. Sahabat mengatakan pendapat A yang diselisihi sahabat
yang lain, maka tidak boleh dijadikan hujjah (namun sebagian hanafiah
berpendapat lain, tapi pendapat ini salah)
2. Sahabat berpendapat A kemudian tersebar di tengah-tengah
umat, kemudian tidak ada yang menyelisihi, ini disebut ijma sukuti. Boleh
dijadikan hujjah.
3. Sahabat berpendapat, tapi tidak tersebar di tengah-tengah
umat, bisa jadi karena ia bukan Khaalifah misalnya, tidak dijumpai sahabat lain
yang menyelisihi, maka dilihat dulu.
Contoh : Ibnu Abbas rahimahullahu
“barangsiapa yang meninggalkan dari penyembelihan, maka wajib baginya
menyembelih dam” Pendapat ini tidak tersebar, ada 2 pendapat ulama :
a. Tidak boleh berhujjah (menurut qoulul jadid) karena
syariat hanya memerintahkan untuk kembali pada nash quran dan sunnah. Semua
perselisihan dikembalikan pada Allah dan Rasulnya. Dalilnya QS Asy Syura 10
b. Boleh berhujjah dengan perkataan sahabat tersebut
(menurut jumhur ulama dan imam 4 madzab. Karena sahabat mengetahui keadaan
turunya Quran, tau tafsirnya, dan mengetahui bagaimana Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Dalilnya QS Taubah 100
Allah memuji orang yang mengikuti sahabat.
Kesimpulan :
Menurut Syaikh Utsaimin : pendapat sahabat itu
jadi hujjah meski tidak tersebar, manakala yang berpendapat adalah sahabat yang
ulama, tidak ada sahahabt yang menyelisihi dan tidak bertentangan dengan dalil.
Al-Akhbar (hadits)
Hal 139
Matan:
Khabar : kalimat yang bisa dilabeli jujur atau
bohong. Ada 2 macam, yaitu khobar ahad dan mutawatir. Mutawatir menghasilkan
yakin dan mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bisa berbohong sampai berakhir pada sumber
berita. Merupakan hal yang dilihat atau didengar dan bukan pendapat
Penjelasan :
Khabar : kalimat yang bisa dilabeli jujur atau
bohong. Ulama membagi kalimat menjadi 2 :
a. Kalimat berita :
bisa dilabeli jujur atau bohong karena dzatnya.
b.
Kalimat non
berita (insyaq) : seperti kalimat perintah, larangan, pengandaian dll tidak
bisa dilabeli jujur atau bohong.
Kalimat
berita yang dimaksud adalah hadits yang dinukil dari perkataan, perbuatan dan
persetujuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ada
2 macam khabar, yaitu khobar ahad dan mutawatir.
Dilihat
dari sanadnya.
a.
Mutawatir : didefinisikan sebagai khobar yang membuahkan
ilmu, tegas. Namun definisi ini tidak tepat karena tidak
layak mendefinisikan sesuatu dengan dampak dan buahnya.
Definisi lain :
kalimat yang diriwayatkan dari banyak orang yang mereka tidak mungkin berbohong
sampai pada sumber berita. Ada 3 syarat mutawatir :
1.
Diriwayatkan
banyak orang dan mustahil berbohong
2.
Jumlah yang
banyak ada pada semua lapisan sanad
3.
Sanad ini pada
akhirnya berdasar pada sesuatu yang nyata, bukan opini atau ijtihad yaitu
bersandar dan bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Taimiyyah
: berita mutawatir tidak disyaratkan jumlah tertentu, tapi berbeda-beda sesuai
jenis berita.
Mutawatir
membuahkan yakin tidak hanya berita dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam tapi
secara umum.
b.
Ahad : kalimat berita yang mengharuskan amal tapi tidak harus yakin. Definisi yang benar : berita yang tidak mutawatir, dan mengharuskan
dipraktekkan isinya, tidak boleh meninggalkan berita ahad. Ada beberapa pedapat
mengenai berita ahad.
1.
Berita ahad
tidak membuahkan ilmu dan yakin sama sekali.
2.
Berita ahad kadang
membuahkan yakin, tegas, ilmu, jika ada indikator yang menunjukkan hal itu.
Indikatornya yaitu :
a. Haruslah berita tersebut dibawakan imam
yang terpercaya
b.Menghasilkan yakin yaitu riwayat bukhori
sekaligus muslim
c. Berasal dari jalur yang sangat banyak
Dan yang benar dari masalah ini yaitu berita
dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam menghasilkan yakin dan tegas
dengan syarat 3 hal.
Syaratnya :
sanadnya shohih, tidak ada dalil lain yang menentangkan, dan dinisbatkan pada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dan hadits ahad terbagi 2, mursal dan musnad.
Musnad adalah hadits yang sanadnya bersambung, sedangkan mursal adalah yang sanadnya
tidak bersambung. Maka jika mursal non sahabat maka bukan hujjah kecuali mursal
Said bin Musayyid, karena telah dicek semuanya musnad.
Dan hadits ahad terbagi 2, mursal dan
musnad. Menurut ulama ushul fiqh
pengertian musnad dan mursal yaitu :
·
Musnad adalah
hadits yang sanadnya bersambung dan tidak gugur satupun rawinya.
·
Mursal : gugur
sebagian rawinya.
Menurut
ulama pakarhadits pengertian musnad yaitu :
·
Mursal : saat yang gugur pada sahabat saja.
Lebih
luas pengertian ulama ushul fiqh daripada ulama hadits terkait hadits mursal
dalam beberapa sisi:
1.
mencangkup mursal
sahabat
2.
mencangkup munqoti’
: hilang salah satu rawi ditengah-tengah sanad
3.
mencangkup mu’dhol : hadits yang gugur 2 rawi
yang berturut-turut
4.
mencangkup
muallaq : gugur di awal sanad 1 rawi atau lebih
5.
mencangkup balaghot
: hadits yang terdapat kata-kata “balaghany”. Muwattho’ Imam Malik banyak
hadits balaghot yang menurut penelitian banyak hadits yang statusnya mu’dhol.
Definisi mursal oleh Syaikh
As-Syatstri dinilai kurang tepat, definisi mursal sebagai hadits yang terputus
pada sahabat. Sebagaimana yang ada pada Mandzumah Baiquniyah bait ke 16
disebutkan definisi mursal : manakala sahabat gugur/ tidak disebutkan. Jika
sudah dipastikan yang terputus adalah sahabat, maka hadits tersebut harusnya
shohih karena para sahabat adalah orang yang adl, dhobit tidak perlu diragukan.
Tetapi ulama memasukan hadits mursal ke dalam kategori hadits dhoif.
Lebih tepat : hadits mursal
adalah hadits yang terputus rawinya setelah tabi’in. Karena dakam 1 tobaqoh
sanad tabiin kadang lebih dari 1, itu yang perlu dicek.
Di matan Mandzumah Baiquniyah bait ke 16 disebutkan. Definisi
mursal : manakala sahabat gugur/ tidak disebutkan.
Mursal ada 2 jenis :
1.
Mursal sahabat
: seorang sahabat datang menggugurkan sahabat yang lain. Maka hadits tersebut
bisa diterima, karena semua sahabat terpercaya.
2. Mursal bukan sahabat : misal seorang tabiin langsung
meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Termasuk mursal non
sahabat yaitu munqoti’, mu’dhol dan muallaq. ada 2 jenis mursal non sahabat :
a.
Orang yang
melakukan irsal menggugurkan rawi-rawi yang tsiqoh, dan dia tidak pilih-pilih
rawi yang dia gugurkan. Maka sepakat ulama ini bukan hujjah.
b.
Orang yang
melakukan irsal, tidak menghilangkan rawi kecuali yang tsiqoh saja. Ada 3
pendapat mengenai hal ini apakah bisa dijadikan hujjah atau tidak :
1.
Tidak dijadikan
hujjah : sebagian ulama hadits
2.
Hujjah: jumhur
fuqaha, ushuliyyin dan imam terdahulu
3.
Dilihat
dalil-dalil yang melekat pada mursal tersebut, apakah ada yang menguatkannya
atau tidak. Pendapat Imam Syafii. Ini yang diambil oleh mualif, yaitu
dikecualikan mursalnya Said bin Musayyib yang sudah diteliti bahwa haditsnya
musnad.
‘An’anah
bisa terjadi pada sanad. Jika guru yang membacakan hadits, boleh murid yang
meriwayatkan “hadatsani” atau
“akhbarony”. Jika murid yang membacakan di depan guru maka dia katakan
“akhbarony” saja dan tidak boleh hadatsany. Jika guru memberikan ijazah tanpa
membacakan dari buku, maka murid meriwayatkan dengan lafadz “ajazaany” atau
“akhbarony ijazaatan”
‘An’anah
bisa terjadi pada sanad yaitu rawi mengatakan dari fulan, berkata fulan, bahwa fulan dll bisa
masuk pada sanad, dan bukan termasuk mursal jika personnya sudah diketahui.
Namun jika si person sudah dikenal berbuat mursal, maka harus menjaga diri dari
‘an’anah.
Berekenaan
cara seseorang mendapatkan hadits dan cara menyampaikan.
1.
Guru membaca
dan murid mendengarkan : level riwayat paling tinggi. disebut qiroatus syaikh.
Boleh murid yang meriwayatkan
“hadatsani” atau “akhbarony”
2.
Murid membaca,
syaikh mendengarkan : cara yang benar untuk riwayat. murid mengatakan
“akhbarony” tidak boleh dia mengatakan “hadatsany”, yang boleh “hadatsany qoroa
‘alaihi”
3.
Ijazah : guru
memberikan izin untuk meriwayatkan dariku buku fulan atau hadits fulan. Hak
murid mengatakan “ajazaani” atau “akhbarony ijazaatan”
Disini kita tahu metode ijazah tidak
mengandung muatan ilmu.
PERTEMUAN 4
JUMAT, 6 Maret 2020
BAB QIYAS
Qiyas
: mengembalika kasus cabang pada kasus pokok, dikarenakan ‘illah yang
menyatukan keduanya dalam hukum.
Penjelasan
:
Beberapa
pandangan tentang qiyas:
1.
Sebagian
orang mengatakan qiyas : dalil yang
independen, diambil darinya hukum secara mandiri.
2.
Sejumlah ulama,
qiyas : diantara metode untuk memahami
teks syariat. Alasanya saat datang suatu peristiwa, kita tidak menggunakan
qiyas kecuali jika qiyas tersebut bersandar pada Quran dan sunnah. Ini yang lebih tepat.
Qiyas hakikatnya : cara untuk melebarkan cangkupan hukum syari.
Qiyas
dalam Bahasa Arab ada 2 :
1.
qosa- yaqisu : diketahui kadarnya, ini yang lebih tepat
2.
menyamakan
Qiyas secara istilah : mengembalikan kasus
cabang yang muncul kepada satu kasus pokok yang sudah dibahas dalam syariat.
Contoh :
1.
Khamr haram, ‘illahnya
: memabukkan. Jadi saat datang beberapa minuman yang baru dari berbagai macam
narkoba, heroin, ganja dll maka diqiyaskan semua itu dengan khamr, sama dalam
‘illahnya yaitu memabukkan. Maka hukumnya haram. Hukuman had untuk konsumsi
khamr, maka juga berlaku untuk perkara-perkara narkoba berupa 40x atau 80x
cambuk.
2.
Siapa yang
membunuh dengan alat, maka dia diqisas dengan menggunakan alat tersebut. Maka
saat ada alat baru semacam pistol dll maka diqiyaskan pistol dengan alat
terdahulu berupa pedang. Maka hukumnya : pedang dan pistol adalah alat yang
bisa menembus badan (membunuh) sama saja.
3.
Hukum naik
mobil diqiyaskan dengan naik unta ‘illahnya yaitu dapat dikendarai.
Qiyas
terbagi menjadi 3 macam yaitu qiyas ‘illah, qiyas dalalah, dan qiyas syabah.
Dilihat
dari faktor yang menyatukan ashl dan furu’ ada 3 macam :
1.
Qiyas ‘illah : menggabungkan
asl dan furu dengan perantara ‘illah. ‘illah yaitu sifat bukan dzat yang
sesuai, terukur, yang menharuskan ditetapkannya hukum.
Contoh : qiyas heroin dan khamr, ashlnya khamr
dan heroin dan ‘illahnya adalah memabukkan. Memabukkan adalah sifat, yang
terukur, dan semua orang setuju itu mabuk, tidak perlu diperdebatkan.
2.
Qiyas dalalah :
menyatukan ashl dan furu dengan 1 sifat/hal yang berkenaan dengan ‘illah
meskipun dia bukan ‘illah itu sendiri. Dia yang melekat dengan ‘illah atau
memuat ‘illah.
Contoh : saya qiyaskan nabeez (minuman rendaman
kurma) dengan khamr, karena bau khamr itu melekat pada ‘illah yaitu memabukkan.
Boleh jadi yang dijadikan sebagai alat deteksi hukum itu memuat ‘illah. Jika
ada bau khas khamr, maka ini dijadikan jejak atau sesuatu yang melekat pada
sifat memabukkan. Khamr yang disepakati ulama adalah khamr dari anggur. Nabi
tidak mengkonsumsi nabeez yang lebih dari 3 hari.
3. Qiyas syabah : menyatukan ashl dan furu dengan 1 sifat
yang dia bukan ‘illah dan bukan sesuatu yang melekat dengan ‘illah.
Contoh : menyentuh dzakar tidak membatalkan
wudhu diqiyaskan dengan kampak karena masing-masin keduanya adalah alat untuk
bercocok tanam. Alat bercocok tanam bukan hal yang cocok untuk dittapkan hukum
dan bukan sesuatu yang melekat dengan ‘illah.
Contoh : minyak samin tidak boleh digunakan
untuk wudhu, kemudian diqiyaskan minyak samin dan cuka. Hanafi boleh wudhu
dengan cuka dan jumhur melarangnya. Aslnya minyak samin furu’nya cuka. Hal yang
menyatukan keduanya adalah cairan. Cairan ini tidak mengalir, tidak dibangun
jembatan di atas cairan tersebut, juga cairan tersebut tidak dilewati perahu.
Maka hal ini berbeda jauh.
Contoh : budak, diqiyaskan dengan manusia
merdeka atau dengan harta. Diqiyaskan dengan orang merdeka karena mirip dengan
masalah dia mukallaf dll, namun dia punya kemiripan dengan harta yaitu bisa
dijual, dibeli, disewakan dll.
Qiyas ‘illah : faktor yang
menyatukan furu’ dan ashl adalah sifat yang cocok dan terukur menjdaikan qiyas ada 2 macam :
1. Sifat mengharuskan hukum yang sama
2.
Sifat
semata-mata tanda
Pembagian
yang dilakukan penulis menyelisihi ulama ushul fiqh. Ulama ushul fiqh menjadikan
qiyas ‘illah dengan sesuatu yang mencocoki, tanpa melihat ‘illah
tersebut mengharuskan hukum atau sekadar menjadi penanda saja.
Metode
asyairoh, mereka mengangap ‘illah semata-mata tanda. ‘Illah tidak memengaruhi
hukum. Jumhur ulama : ‘illah punya pengaruh terhadap hukum meski ada
perselisihan di antara ulama. Pengaruh terhadap hukum ini ada perselisihan:
1.
memengaruhi
hukum secara wajib atau tidak
2.
hakikat dan
penafsiran mengharuskan hukum
Ahlu
sunnah : ‘illah memengaruhi hukum tapi tidak dengan sendirinya.
Sebagian
orang : ‘’illah memengaruhi dalam arti mengharuskan adanya hukum dengan
dzatnya.
Sebagian
yang lain : hati-hati menggunakan kata mengharuskan suatu hukum pad a’illah
karena makhluk tidak boleh mengharuskan suatu hukum
Keseimpulan
: illah memengaruhi hukum tapi tidak dengan sendirinya tapi Allah menjadikannya
memengaruhi.
Mu’tazilah
: ‘illah memengaruhi hukum dan mengharuskan hukum karena dzatnya.
Istilah
“mujib” mengharuskan suatu hukum, tidak digunakan untuk asyairah, sedangkan
penulis menggunakan istilah tersebut. Ini bantahan bahwa penulis tidaklah
berakidah assyairah.
Matan
2. Qiyas
dalalah adalah berdalil dengan salah 1 dari 2 hal yang sama dengan yang lain.
‘Illah sekadar menujukan hukum tapi tidak mengharuskan hukum.
Penjelasan
:
2
hal yang sama maksudnya mirip. Penulis menjadikan aslh dan furu dalam dalil
tidak mewajibkan dalam hukum.
Jumhur
: qiyas dalalah menyatukan ashl dan furu dengan 1 sifat/hal yang berkenaan/
melekaterat dengan ‘illah meskipun dia bukan ‘illah itu sendiri.
Contoh
: haramnya khamr karna orang yang meminumnya akan membuat dia melakukan hal
diluar kesadaran, dan demikian dengan orang yang mengkonsumsi narkoba. hal
diluar kesadaran itu bukan ‘illahnya, hanya hal yang melekat pada ‘illah saja.
Qiyas dalalah lebih lemah dari qiyas ‘illah.
Kesimpulan
:
Menurut
penulis matan disebut qiyas ketika qiyas aula atau mafhum muwaffaqoh,
benar-benar sama hukumnya.
Contoh
: memakan harta anak yatim dan merusak harta anak yatim diqiyaskan dengan
membakar harta anak yatim, hukumnya sama. Karena tidak ada bedanya membakar
harta anak yatim dengan merusak harta anak yatim.
Contoh
lain : mengatakan uff pada orang tua sama saja hukumnya dengan memukul orang
tua, keduanya sama-sama menyakiti.
3.
Qiyas Syabah : adalah suatu kasus baru yang mau dicari hukumnya yang dia bimbang
dengan 2 kasus pokok. Maka dicari yang paling banyak kemiripannya.
Qiyas
syabah : jika disebutkan sendirian maka memuat banyak pengertian. Jika
digunakan sebagai kebalikan dai qiyas dalalah dan qiyas ‘illah, maka qiyas
syabah maknanya menggabungkan ashl dengan furu dengan sifat yang tidak munashib
dan melekat pada munasabah.
Jika
disebut secara mutlak :
1.
Menggabungkan
dengan sifat yang tidak cocok dengan munashib
2.
Menyatukan
furu dengan ashl yang paling banyak kemiripan denganya.. Sebagian ushul fiqh tidak menamai dengan qiya syabah tapi qiyas
gholabahu syabahi (paling banyak miripnya)
Contoh
:
Boleh
atau tidak makan daging kuda?
Hanafiah
: melarang
Jumhur
: membolehkan.
Jika
si A mengatakan tidak boleh makan daging kuda karena mengqiyaskan kuda dengan
keledai. Tapi jika si B katakan boleh makan daging kuda, maka kita qiyaskan
kuda dengan unta.
Penjelasan
:
Mirip
unta dari sisi : ditunggangi untuk safar, digunakan alat dibawa ke medan
perang, dibagikan pada orang saat jadi ghonimah, boleh diperjualbelikan dll.
Mirip
keledai dari sisi : demikian dan demikian.
Maka
setelah itu kita cari mana yang paling banyak kemiripannya.
Contoh
:
Budak
apakah punya kewenangan menceraikan istri atau tidak? atau hanya pemilik budak
yang boleh menceraikan istri si budak?
1.
Diqiyaskan
dengan orang merdeka maka bisa mentalaq
2.
Diqiyaskan
dengan hewan, karena bisa dimiliki, sehingga tidak bisa mentalaq.
3.
Budak itu bisa
mentalaq tapi tidak bisa memiliki harta.
Alasanya,
di bab nikah budak diqiyaskan dengan orang merdeka, tapi di bab jual beli budak
diqiyaskan dengan hewan. Maka setelah disebut satu-satu sifanya budak, maka
dilihat lebih dekat persamaan pada manusia atau hewan. Inilah qiyas gholabatul
syabahi (qiyas syabah).
Qiyas
syabah dalam pengertian menggabungkan antara ashl dan furu dengan shifat maupun
selain munasabah ini bukan hujjah. Tetapi jika qiyas syabah dalam pengertian
gholabatul syabah maka ini bisa dijadikan hujjah, dipakai untuk beramal dan
diakui debagai dalil syariat.
Qiyas
ketika disebut mutlak maksudnya qiyas ‘illah.
Definisi
qiyas syabah jika digandengkan dengan qiyas ‘illah (washaf munashib) dan qiyas
dalalah (ghaira munasib) maka itulah pengertiannya.
Jika
qiyas ‘illah disebut sendirian maka multitafsir.
Masalah
: apakah qiyas ‘illah itu hujjah atau bukan?
Dhohiriyyah
: tidak boleh jadi hujah, karena firman Allah QS An-Nisa 59
Jumhur
: bisa dijadikan hujjah. teks menunjukkan adanya qiyas. Allah menurunkan kitab
dan mizan, yang di maksud mizan yaitu memberikan 2 hal yang sama dan hukumnya sama,
artinya sama dengan qiyas. Juga adanya hadits mutawatir yang menyebutkan Nabi
menggunakan qiyas.
Contoh
: hadits ketika sahabat bertanya mencium istri di bulan ramdhan, lantas Nabi
memebrikan qiyas lalu apa pendapatmu jika berkumur-kumur? Maka itu dalah
pendahuluan. Pembatal puasa yaitu jima, dan mencium itu mukadimahnya, sama
seperti kumur-kumur mukadimah sebelum menelan air yang bisa membatalkan wudhu.
Ijma
sahabat yang qothi dan mutawatir, meskipun ada qiyas fasid yang tertolak.
Dan
diantara syarat qiyas : sama dengan ashl
Penjelasan
: ‘illah karenanya ada hukum untuk ashl maka harus ada dalam furu’. Jika tidak
ada ‘illah maka tidak sah ilhad (penyamaan).
Contoh
: haram minum air laut karena memabukkan. Jawabanya : ini fasid, tidak ada
‘illah pada furu’/
Syarat
qiyas ada dengan dalil yang disepakati yang berselisih
1.
Benar-benar
valid tidak ada ashl, maka tidak sah melakukan qiyas. Validnya ashl bisa dengan
perantara ijma. Contoh : air yang berubah dengan
najis maka haram di pakai. Diqiyaskan dengan cuka yang berupa dengan najis,
Maka air ada hukumnya saat berubah dengan najis berdasarkan ijma, disamakan
furu’ berupa cuka.
2.
Validnya ashl
dengan perantara dalil nash. Contoh haramnya khamr : QS Al Maidah 90.
Ashl hukum khamr ada berdasarkan nash. Kemudian di qiyaskan dengan nabeez, maka
terpenuhi syarat ashl yaitu ada berdasarkan nash
3.
Boleh jadi ashl
ada dengan perantaraan 2 orang yang berselisih. Contoh : ada orang yang
mengatakan, “kita bersepakat bahwa buah peer didalamnya ada riba” kemudian
diqiyaskan dengan kiwi. Maka tidak terdapat ijma, hukumnya tidak ada di ashl,
tidak ada pada nash, namun ada hukum
dengan kesepakatan diantara 2 orang yang berselisih. Ulama ushul fiqh :
kesepakatan 2 orang yang berselisih terhadap al-ashl maka bisa dibangun padanya
furu’.
Bersambung
InsyaAllah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar